
LOMBA ARTIKEL JURNALISITK
GRADASI 2012
SURAT KECIL UNTUK REKTOR
Diusulkan Oleh:
Shalahuddin Al Madury
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
2012
SURAT KECIL UNTUK REKTOR
Oleh, Shalahuddin Al Madury
Demonstrasi
mahasiswa menuntut kenaikan SPP, perihal remedial yang tidak jelas ujungnya,
proses key-in, dosen yang seenaknya saja mengosongkan mata kuliah kemudian
menggantinya sesuka hati, ditambah kebijakan-kebijakan lain yang diputuskan
sepihak dan banyak merugikan mahasiswa ini sudah sering terjadi di berbagai
kampus maju sekalipun, termasuk di Universitas Islam Indonesia.
Naiknya biaya setiap tahun
Bukan
pemandangan yang asing jika kita melihat angka-angka yang tertera di brosur
penerimaan mahasiswa baru (PMB) Universitas Islam Indonesia semakin membuat
mata kita pusing karena bertambahnya deretan angka itu, yang berarti bertambah
banyak nominal rupiah yang harus mahasiswa bayarkan. Universitas berlabel
kampus perjuangan tertua di negeri ini cukup membuat masyarakat berambisi untuk
dapat menjadi bagian dari keluarga UII, hal ini terlihat dari animo pendaftar
yang setiap tahunnya mengalami peningkatan yang sangat signifikan.
Kampus biru
yang terkenal dengan kampus tertua di negeri indonesia dengan banyak prestasi-prestasi
yang diraih oleh civitas akademika dan alumnus baik di tingkat nasional maupun
internasional. Kebanggaan itu memang mutlak, akan tetapi masih banyak
kelucuan-kelucuan yang tidak dipaparakan oleh pihak rektorat, termasuk dalam
hal keuangan yang merangsang mahasiswa untuk mengkritisi tentang hal itu.
Selain terkenal dengan prestasinya, kampus UII juga terkenal dengan mahalnya
biaya kuliah. Mahal atau tidak itu memang relatif, membayar banyak uang
kemudian kita mendapatkan yang banyak pula itulah yang benar. Akan tetapi
apabila apa yang kita bayar tidak sesuai dengan apa yang didapatkan, hal ini
bisa menimbulkan kata mahal dan berujung pada masalah.
Apakah semua mahasiswa UII beruang?
Inilah
pertanyaan kecil yang seharusnya tidak dengan mudah pihak rektorat
menganggukkan kepala, karena berdasarkan dalam PMB ada banyak calon mahasiswa
yang mendaftar melalui surat keterangan tidak mampu, hal ini menunjukkan bahwa peminat
UII tidak hanya dari kalangan menengah keatas. Belum lagi ketika dimulai pembayaran
SPP, masih banyak mahasiswa yang meminta perpanjangan waktu dikarenakan belum
ada uang untuk biaya SPP.
Apa kata mereka tentang fasilitas kampus?...
Berbicara
masalah fasilitas, nampaknya mahasiswa adalah objek utama yang harus diperhitungkan
keobjektifitasannya dalam menjawab. Mukfi rahman wibowo, mahasiswa farmasi 2011
mengatakan bahwa biaya pendidikan di UII tebilang cukup mahal, hal ini tidak
sebanding dengan fasilitas kampus yang mahasiswa dapatkan. “Fasilitas di UII masih sangat kurang sekali, tidak sebanding dengan
biaya pendidikan yang ditarik”.
Hal senada
juga dikemukakan M.Yudi Ransatullah yang menyatakan bahwa biaya pendidikan UII
tidak sebanding dengan fasilitas yang didapatkan dimana terasa sangat merugikan
mahasiswa jika gedung kuliah FMIPA yang masih menumpang di FTSP belum ada
kejelasan “Ialah tidak sebanding, kita
bayar mahal tetapi fasilitas tidak ada. Kuliah harus mondar-mandir karena tidak
punya gedung yang jelas apalagi kalo ada pengganti atau kuliah kosong, gak
jelas mas”. Akan tetapi dari pihak dekan FMIPA sendiri saat diminta suaranya menegaskan bahwa pihak
dekanat sudah mengajukan proposal kepada rektorat mengenai pembangunan gedung
FMIPA, hanya tinggal ACC. “Semoga ACCnya
segera, biar kalian bisa menikmati pembangunan gedung baru” tegasnya
disela-sela kuliah.
Nampaknya
bukan hanya mahasiswa FMIPA saja yang merisaukan tentang ketidakpuasan terhadap
pembangunan kampus, dimana mahasiswa FMIPA biasa menyebut gedung MIPA dengan
sebutan SD impres karena memang bangunan gedungnya seperti SD. Mahasiswa Ilmu
Komunikasi FPSB Kamil Alfi Arifin juga merasa tidak puas dengan pembangunan
kampus, menururtnya gedung kuliah komunikasi sangat kecil tidak sesuai dengan
kampus semegah UII bahkan ia menambahkan bahwa gedung kuliahnya kalah sama tempat
kursus “Kampus kok kaya tempat kursus
saja, malah kalah”.
Selanjutnya,
bagaimana kita menjelaskan kenehan-kenaehan lainnya. Misalnya, bus UII yang
tertera dengan jelas tulisan ANGKUTAN MAHASISWA. Namun proses pengoperasiannya,
hampir tidak ada mahasiswa yang menumpanginya, bukan karena mahasiswa tidak mau
akan tetapi bus uii lebih memilih mengangkut dosen dan karyawan setiap pagi dan
sore hari. Parahnya lagi, lembaga eksekutif mahasiswa (LEM) untuk meminjampun
masih dimintai sewa yang tak sewajarnya ditambah dengan birokrasi yang
berbelit-belit membuat mahasiswa tambah bingung, apakah bus yang bertuliskan
angkutan mahasiswa itu benar untuk mahasiswa?
Fasilitas
lainnya tak jauh berbeda dengan bus uii, GOR UII misalnya. Tarif per jam
Rp.40.000 meskipun penyewa membawa KTM berlogo UII, belum lagi jika lembaga
kemahasiswaan ingin mengadakan acara di GOR tambah mahal lagi, padahal
fasilitasnya ya dari dulu sudah begitu tidak ada perbaikan. “Iya, sewa GOR masih bayar. Padahal kami kan
mahasiswa UII, sudah pengurusan izinnya ribet, katanya sih untuk biaya
perawatan. Bukannya SPP ada biaya kemahasiwaan dan segala macam tuh” ucap
salah satu mahasiswa yang tidak mau disebutkan namanya ini. Ini masih sebagian
saja, belum lagi penggunaan auditorium yang susah untuk dipakai mahasiswa
tetapi selalu ramai di hari sabtu dan minggu untuk acara pernikahan dan
lainnya. Pertanyaannya, apakah pihak kampus masih akan meminta uang lagi untuk
penyewaan auditorium yang seharusnya menjadi fasilitas mahasiswa, kemudian
lebih memilih menyewakannya kepada orang lain dengan harga yang mahal tentunya.
Masih banyak lagi, kelucuan yang terjadi yang jika kita paparkan hanya membuat
kening kita berkerut.
Tidak adanya
transparansi masalah penggunaan keuangan SPP membuat mahasiswa betanya-tanya,
kemana larinya uang kami?. Namun pertaaan itu lama tidak menemukan jawaban,
karena rektorat sendiri belum memaparkannya. Bukan jumlah yang sedikit jika
kita mau untuk menghitungnya, uang kemahasiswaan yang diminta setiap tahun
sekali Rp.45.000 kemudian dikalikan dengan jumlah mahasiswa UII yang mencapai
sekitar 16.500 mahasiswa sudah mencapai Rp.742.500.000, kemudian kita hitung
dengan acara kemahasiswaan yang ada di kampus selama setahun apakah sampai
angka ratusan juta? Sedangkan disisi lain LEM dan DPM harus bekerja keras dalam
mengadakan setiap acara dikarenakan kurangnya dana. Seyogyanya, jika dana
kemahsiswaan itu turun ke DPM dengan baik dan lancar, maka tidak perlu lagi
lembaga usaha mandiri untuk mengadakan acara untuk mahasiswa, lagi-lagi aktivis
kampus yang menjadi korban.
Pihak rektorat
yang merupakan pengemban tertinggi setelah badan wakaf UII tidak banyak
perannya dalam hal kepentingan kampus. Seakan-akan hanya tuntutan uang kuliah
yang tidak boleh mahasiswa bayar telat, apabila tidak mahasiswa tidak boleh
mengikuti ujian. Nampaknya rektorat sudah seperti hantu bagi mahasiswa, dimana
hantu itu datang hanya ketika pembukaan ospek, untuk mengucapkan selamat datang
kepada mahasiswa baru. Kemudian hadir kembali ketika prosesi wisuda, untuk
mengucapkan selamat jalan dan semoga sukse dengan sedikit memberikan pepatah
wejangan yaitu “banyak sarjana nganggur
diluar sana” Hal ini menambah
kelucuan yang terjadi di kampus kita, seakan-akan kampus hanya sebagai tempat
bersinggah mahasiswa untuk mendapatkan secarik ijazah UII tanpa mengetahui
nilai-nilai yang terkandung didalamnya.
Sementara
rektor dengan bangga mengaku inilah anak didik kami yang berprestasi, sedangkan
mereka tak mau tahu dengan bagaimana proses jungkir balik mahasiswa untuk
memperoleh gelar juara
Saran kecil keluar dari kebuntuan.
Permasalahan
yang sangat kompleks ini tidak mungkin semudah membalikkan telapak tangan untuk
mengatasinya. Diperlukan kerjasama yang baik antara rektorat selaku orang tua
di kampus, dan mahasiswa untuk bersama berusaha mengembalikan kepercayaan
mahasiswa dan masyarakat umumnya kepada pihak kampus khususnya rektorat.
Sehingga akan tercapai image positif
dari semua pihak untuk terciptanya kampus Uiniversitas Islam Indonesia yang Rahmatan li’alamin seperti yang dicita-citakan
para pendiri UII.
Pertama, rektorat
menampung suara, kritikan, dan saran dari mahasiswa dan semua pihak untuk
kemudian dipertimbangkan dalam pengambilan keputusan. Hal ini bisa diwujudkan
dengan adanya kotak saran, link-link
surat dan pendapat baik melalui media cetak kampus maupunmedia online. Kedua, adanya transparansi
perihal keuangan dan sebagainya sehingga semua civitas mengetahui perihal
tersebut harapannya tidak ada lagi kecemburuan atau kecurigaan yang dapat
membuat nama rektorat tercoreng. Ketiga, peninjauan kembali fasilitas kampus.
Hal ini dimaksudkan, agar fasilitas yang ada dapat terpakai dengan maksimal dan
apabila ada kerusakan untuk segera ada perbaikan, kemudian peninjuan kembali
pelaksanaanya apakah sudah sesuai dengan fungsi awalnya. Sehingga sasarannya
tepat, misalkan bus untuk mahasiswa ya untuk mahasiswa. Keempat, pemberian reward kepada warga kampus yang
berprestasi, sehingga ada semangat untuk lebih berprestasi hal ini juga akan
membantu UII untuk mencetak insan cendekia dan harapan untuk benar-benar Word Class University. Begitupun punishment untuk warga atau civitas
yang melakukan pelanggaran, sehingga mereka akan berusaha untuk berlaku baik.
Dari keempat
tawaran sederhana dalam surat kecil ini, harapannya tercipta lingkungan UII
yang nyaman dan tidak ada lagi demonstrasi dan unjuk rasa yang dapat
menimbulkan potret negatif terhadap UII. Sehingga dengan begitu, mahasiswa
tidak merasa dirugikan dan rektorat tidak mendapat tuduhan negatif.
sip, bagus kawan...
BalasHapus