"Semua penulis akan mati. Hanya karyanyalah yang akan abadi. Maka tulislah sesuatu yang membahagiakan dirimu di akhirat nanti". (Ali bin Abi Thalib). Maka dari itu, melalui blog ini aku ingin mengabadikan hidupku, bahkan lebih dari nyawaku.
Home » » Jangan Selfie, nanti Masuk Neraka.

Jangan Selfie, nanti Masuk Neraka.



Selamat datang di negara visual. Disini semua rakyatnya mulai tertipu oleh cerminan diri sendiri yang nampak lebih anggun dan cantik oleh hasil percikan cahaya, yang belakangan kau sebut “foto”.
Kemudian, apa sebenarnya arti foto menurutmu? Apakah ia lebih bermakna dari pertemuan yang kau rencanakan jauh-jauh hari sebelumnya?
Jika ia, tolong jelaskan padaku sejauh mana sebuah foto memberikan arti bagi hidupmu.

Aku tak habis pikir, katanya sebuah foto itu untuk mengabadikan moment tertentu. Agar dapat dikenang suatu masa depan jika kita melihatnya kembali.
Atau, untuk di upload di sosial media. Agar orang tahu jika kita sedang melakukan suatu hal, sebagai bukti otentik, dokumentasi, sebagai media gratis mempromosikan diri sendiri.
Ah, rasanya aku ingin menyangkal semua itu jawaban itu.

Aku jadi teringat masa kecilku, di kampung 22 tahun silam. Aku tak tahu apakah pada zaman Ibu dan Bapak melahirkanku ke dunia, di desaku, di ujung pulau Madura yang terpencil itu sudah ada kamera atau belum. Tapi dapat kupastikan, meskipun ada, keluargaku pasti belum memilikinya.  

Tapi tahukan kalian, jika kuminta Ibuku untuk menceritakan bagaimana sakitnya berjuang untuk melahirkanku.  Pada saat itu di dukun beranak karena aku tak dilahirkan oleh bidan. Karena bidan baru masuk di desaku sekitar akhir tahun 90an. Atau kuminta bapakku bercerita bagaimana bahagianya mereka disaat melihat ada ciptaan Allah yang baru melihat bumi setelah 9 bulan dikandungan isteri tercintanya, kemudian Bapak dan kakakku membisiki telingaku dengan kalimat-kalimat berbahasa Arab yang belakangan kutahu itu adalah nama Tuhanku dalam bingkaian lafadz adzan. Rasanya mengalir air matanya, jatuh menetes telinga, sampai membasahi badanku yang memerah kala itu.  

Baik ibu, kakak, dan bapakku akan fasih menceritakannya. Padahal tidak ada selembar foto yang bisa kubuka, namun imajiku berputar seolah-olah aku hadir pada masa persalinan ibuku. Dan aku dapat mengingat semuanya.

Kemudian, apa gunanya foto jika untuk mengabadikan kenangan tak semesrah memutarnya langsung dalam jiwa yang lebih dalam. Karena aku yakin, memori otak kita lebih padat untuk mengisi beribu-ribu giga byte kenangan yang terekam dalam hidup ini. Melebihi memori kamera yang kau miliki sekarang, secanggih apapun itu.

Tak perlu terlalu serius menanggapi tulisanku ini, Kawan. Karena aku tak akan membebanimu dengan teori-teori rumit yang membuatmu berfikir keras. Aku hanya ingin mengajakmu bercakap-cakap dengan jiwaku yang kerontang.
Kamu boleh menolak teori ngawurku ini, silahkan. Sebelum teoriku ini kupatenkan. Hehe

***
Tapi kan penting juga untuk mengikuti perkembangan zaman cak? Upload di instagram, path atau facebook, kan lumayan.
Ya, aku tak melarangmu untuk berfoto. Karena aku juga tak anti terhadap foto.
Hanya saja, terkadang aku berfikir. Sebenarnya untuk apa kita berfoto? Dengan berbagai macam gaya, diulang sampai beberapa kali, dari sisi (angle yang berbeda). Bahkan sampai rela mengeluarkan uang tak sedikit untuk dapatkan gambar yang bagus. Ah, terlalu berlebihan menurutku.

Mungkin kau juga pernah mendengar berita, seorang wisudawan salah satu kampus ternama yang ditunda ijazahnya 2 tahun gara-gara selfie saat prosesi wisuda.? Atau banyak pemuda-pemudi yang mati konyol saat selfie di tengah jembatan karena terjatuh, tertabrak kereta? Atau belakangan ini, kebun bunga yang mekar hanya bulan November di Gunung kidul rusak gara-gara ulah orang-orang foto di tanaman Amarilis itu? Atau selfie di upacara pemakaman, selfie disaat kiai sedang khutbah, selfie disaat pendeta sedang membaca alkitab di gereja-gereja?
Aku yakin kau sudah mendengarnya.  Jijik bukan?

Terkadang kau berfikir, apakah rasa nikmat ruhani yang ingin kita peroleh di dunia ini terkalahkan oleh nikmat yang sifatnya sementara atau nikmat mata semata?

Logikanya begini, hari ini kau lapar. Dan kau ingin makan, kemudian kau pergi ke restoran mewah membeli makanan dan minuman yang tidak kau tahu rasanya enak atau tidak. Tapi kau merasa ini bagus, lucu, mewah, menarik, dan tidak murahan. Kemudian kau pesanlah menu tadi, dan setelah menu terhidangkan di depan mejamu, kau ambil gadgetmu dan kau foto makanan tadi kemudian kau upload di media sosial dan mendapat banyak komentar dari teman-temanmu, bahkan dapat like dari pujaan hatimu mungkin.. hehe. Dan saat kau makan, rasanya tidak enak, kau mengeluh dan mengumpat dalam hati. Namun kuyakin kau memaafkan dirimu sendiri, karena sudah terbayar dengan dapat komentar menarik dari teman-temanmu di media sosial tadi. Meskipun nanti sampai dirumah, kau akan mencari makanan lain seperti telur mungkin, untuk mengisi perutmu yang masih lapar.

Pertanyaannya, apakah rasa laparmu sudah hilang? Kawan, sebenarnya kau butuh makanan yang bergizi, halal, dan baik. Tidak perlu mewah, dan tidak perlu mendapat pujian dari orang lain, karena yang ingin makan adalah dirimu sendiri. Itulah inti dari kasus ini. Sementara kau sibuk mencari makan, di seberang sana ada orang yang tidak mampu membeli makan karena keterbatasannya. Kemudian dia menggoreng tempe/ tahu kemudian dia makan dengan nasi di kostnya. Dia makan dengan lahap dan penuh rasa syukur kepada Tuhan karena masih diberikan rezeki sepotong tempe goring. Tetapi dia merasakan nikmatnya makan makanan yang dia santap ketimbang dirimu tadi yang harus mengumpat. Kemudian pertanyaanku, seandainya engkau jadi perut. Kau memilih kenyang dengan asupan nasi+tempe atau lapar demi melihat gambar makanan mewah?


Selfie dengan Nabi Muhammad
Aku pernah bertanya kepada teman sekamarku di asrama. Teman, jika kau dizinkan bertemu Nabiyullah Muhammad SAW, apa yang kau lakukan pertama kali?. 

Temanku menjawab: aku akan mencium tangan dan memeluknya cak. Dengan perasaan haru bercampur tangis bahagia aku akan memeluknya, dan meminta nasihat beliau Rasulullah. Pungkasnya…
Beruntung aku bertanya padanya, yang notabene anak pondok. Yang kutakutkan, ketika aku bertanya kepadamu. Iya, kamu.. anak muda ngehits, idola orang-orang gak nyata di instagram itu. Hehe. Aku takut mendapat jawaban: “aku akan mengajak Rasulullah selfie cak”.. kan kacau. ? hehee,,,

Dari jawaban temanku tadi, aku ingin membandingkan alangkah bahagianya saat kita bertemu Rasul. Kita bertemu utusan Allah, pemimpin terbaik sepanjang masa yang dijamin oleh Allah masuk surgaNya. Kemudian kau salim dan cium tangannya, dank au rengkuh badannya maka menetes bahagialah engkau. Aku yakin semalam suntuk kau tak akan mengantuk mendengar cerita langsung dari Rasulullah, aka nada beribu-ribu pertanyaan yang akan kau tanyakan langsung kepada nabi kita itu. 

Bayangkan kawan, kau bertemu orang yang dijamin masuk surga loh. Apa kau tak mau memeluk badan yang dirindukan surga itu? Masih ingat kan kisah Rabithah (sahabat rasul) yang ingin memeluk Rasul sebelum beliau wafat?

Masa kau tak mau memeluk rasul? Masa kau hanya ingin selfie dengannya? Biar dapat kau pamerkan ke teman-temanmu gitu? Ah, nampaknya kau harus berfikir ulang deh…
Jangan-jangan nanti Tuhan marah gara-gara kita selfie dengan Nabi? Bagaimana tidak, utusanNya datang ke bumi, bukannya dimanfaatkan untuk diskusi malah foto. hehe

Artinya adalah, kebahagiaan itu tak selamanya bisa terekam dan terpuaskan oleh jepretan gambar “foto”. Tidak selamanya.. kau akan jauh lebih merekam suatu kejadian dengan kondisi yang lebih khidmat, lebih nyaman, lebih tenang dan santai. Tanpa harus buru-buru untuk mengambil gadget untuk jepret objek yang ingin kita abadikan. Saat kamera sudah siap menjepret, objek tersebut hilang atau pergi.

Coba saja jika kau tadi tak sibuk mengambil gadget, kau amati saja objek itu dengan seksama. Kuyakin saat kau pulang nanti, kau akan lebih banyak bercerita tentang objek tadi ketimbang hanya sepotong gambar hasil jepretanmu.
 Artinya apa, kualitas dari sebuah peristiwa tertentu akan lepas begitu saja ketika kau hanya sibuk dengan dirimu sendiri, dengan mengatasnamakan mengabadikan moment atau foto. Sebaliknya, kau akan lebih mendalami suatu peristiwa ketika kau bersahabat dengan keadaan.

Yuk, kita khidmati lagi setiap peristiwa yang sudah terjadi maupun yang akan terjadi. Sama-sama belajar untuk menyenangkan dan memuaskan jiwa, daripada sekedar kepuasan mata. Buat hidup lebih bermakna, I love you…

Pandanaran, 5 januari 2016 (23:45)



2 komentar:

  1. Padahal udah nunggu dengan sangat antusias ada sepenggal kalimat yang menyinggung judulnyaa, jangan selfie nanti masuk neraka, sapa tau kan bisa tobat? Hik hik hik ☺

    BalasHapus
  2. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus


My Photo Galery

Translate

 
Support : Your Link | Your Link | Your Link
Copyright © 2013. Sejernih Sungai Cinta - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger