Selamat datang di negara
visual. Disini semua rakyatnya mulai tertipu oleh cerminan diri sendiri yang
nampak lebih anggun dan cantik oleh hasil percikan cahaya, yang belakangan kau
sebut “foto”.
Kemudian, apa sebenarnya
arti foto menurutmu? Apakah ia lebih bermakna dari pertemuan yang kau
rencanakan jauh-jauh hari sebelumnya?
Jika ia, tolong jelaskan
padaku sejauh mana sebuah foto memberikan arti bagi hidupmu.
Aku tak habis pikir,
katanya sebuah foto itu untuk mengabadikan moment tertentu. Agar dapat dikenang
suatu masa depan jika kita melihatnya kembali.
Atau, untuk di upload di sosial media. Agar orang tahu
jika kita sedang melakukan suatu hal, sebagai bukti otentik, dokumentasi,
sebagai media gratis mempromosikan diri sendiri.
Ah, rasanya aku ingin
menyangkal semua itu jawaban itu.
Aku jadi teringat masa
kecilku, di kampung 22 tahun silam. Aku tak tahu apakah pada zaman Ibu dan
Bapak melahirkanku ke dunia, di desaku, di ujung pulau Madura yang terpencil
itu sudah ada kamera atau belum. Tapi dapat kupastikan, meskipun ada,
keluargaku pasti belum memilikinya.
Tapi tahukan kalian, jika
kuminta Ibuku untuk menceritakan bagaimana sakitnya berjuang untuk melahirkanku.
Pada saat itu di dukun beranak karena
aku tak dilahirkan oleh bidan. Karena bidan baru masuk di desaku sekitar akhir
tahun 90an. Atau kuminta bapakku bercerita bagaimana bahagianya mereka disaat
melihat ada ciptaan Allah yang baru melihat bumi setelah 9 bulan dikandungan
isteri tercintanya, kemudian Bapak dan kakakku membisiki telingaku dengan
kalimat-kalimat berbahasa Arab yang belakangan kutahu itu adalah nama Tuhanku
dalam bingkaian lafadz adzan. Rasanya mengalir air matanya, jatuh menetes
telinga, sampai membasahi badanku yang memerah kala itu.
Baik ibu, kakak, dan
bapakku akan fasih menceritakannya. Padahal tidak ada selembar foto yang bisa
kubuka, namun imajiku berputar seolah-olah aku hadir pada masa persalinan
ibuku. Dan aku dapat mengingat semuanya.
Kemudian, apa gunanya foto
jika untuk mengabadikan kenangan tak semesrah memutarnya langsung dalam jiwa
yang lebih dalam. Karena aku yakin, memori otak kita lebih padat untuk mengisi
beribu-ribu giga byte kenangan yang
terekam dalam hidup ini. Melebihi memori kamera yang kau miliki sekarang,
secanggih apapun itu.
Tak perlu terlalu serius
menanggapi tulisanku ini, Kawan. Karena aku tak akan membebanimu dengan
teori-teori rumit yang membuatmu berfikir keras. Aku hanya ingin mengajakmu
bercakap-cakap dengan jiwaku yang kerontang.
Kamu boleh menolak teori
ngawurku ini, silahkan. Sebelum teoriku ini kupatenkan. Hehe
***
Tapi kan penting juga
untuk mengikuti perkembangan zaman cak? Upload
di instagram, path atau facebook, kan lumayan.
Ya, aku tak melarangmu
untuk berfoto. Karena aku juga tak anti terhadap foto.
Hanya saja, terkadang aku
berfikir. Sebenarnya untuk apa kita berfoto? Dengan berbagai macam gaya,
diulang sampai beberapa kali, dari sisi (angle yang berbeda). Bahkan sampai
rela mengeluarkan uang tak sedikit untuk dapatkan gambar yang bagus. Ah,
terlalu berlebihan menurutku.
Mungkin kau juga pernah
mendengar berita, seorang wisudawan salah satu kampus ternama yang ditunda
ijazahnya 2 tahun gara-gara selfie saat prosesi wisuda.? Atau banyak
pemuda-pemudi yang mati konyol saat selfie di tengah jembatan karena terjatuh,
tertabrak kereta? Atau belakangan ini, kebun bunga yang mekar hanya bulan
November di Gunung kidul rusak gara-gara ulah orang-orang foto di tanaman
Amarilis itu? Atau selfie di upacara pemakaman, selfie disaat kiai sedang
khutbah, selfie disaat pendeta sedang membaca alkitab di gereja-gereja?
Aku yakin kau sudah
mendengarnya. Jijik bukan?
Terkadang kau berfikir,
apakah rasa nikmat ruhani yang ingin kita peroleh di dunia ini terkalahkan oleh
nikmat yang sifatnya sementara atau nikmat mata semata?
Logikanya begini, hari ini
kau lapar. Dan kau ingin makan, kemudian kau pergi ke restoran mewah membeli
makanan dan minuman yang tidak kau tahu rasanya enak atau tidak. Tapi kau
merasa ini bagus, lucu, mewah, menarik, dan tidak murahan. Kemudian kau
pesanlah menu tadi, dan setelah menu terhidangkan di depan mejamu, kau ambil
gadgetmu dan kau foto makanan tadi kemudian kau upload di media sosial dan
mendapat banyak komentar dari teman-temanmu, bahkan dapat like dari pujaan hatimu mungkin.. hehe. Dan saat kau makan, rasanya
tidak enak, kau mengeluh dan mengumpat dalam hati. Namun kuyakin kau memaafkan
dirimu sendiri, karena sudah terbayar dengan dapat komentar menarik dari
teman-temanmu di media sosial tadi. Meskipun nanti sampai dirumah, kau akan
mencari makanan lain seperti telur mungkin, untuk mengisi perutmu yang masih
lapar.
Pertanyaannya, apakah rasa
laparmu sudah hilang? Kawan, sebenarnya kau butuh makanan yang bergizi, halal,
dan baik. Tidak perlu mewah, dan tidak perlu mendapat pujian dari orang lain,
karena yang ingin makan adalah dirimu sendiri. Itulah inti dari kasus ini.
Sementara kau sibuk mencari makan, di seberang sana ada orang yang tidak mampu
membeli makan karena keterbatasannya. Kemudian dia menggoreng tempe/ tahu
kemudian dia makan dengan nasi di kostnya. Dia makan dengan lahap dan penuh
rasa syukur kepada Tuhan karena masih diberikan rezeki sepotong tempe goring. Tetapi
dia merasakan nikmatnya makan makanan yang dia santap ketimbang dirimu tadi
yang harus mengumpat. Kemudian pertanyaanku, seandainya engkau jadi perut. Kau
memilih kenyang dengan asupan nasi+tempe atau lapar demi melihat gambar makanan
mewah?
Selfie dengan Nabi Muhammad
Aku pernah bertanya kepada
teman sekamarku di asrama. Teman, jika kau dizinkan bertemu Nabiyullah Muhammad
SAW, apa yang kau lakukan pertama kali?.
Temanku menjawab: aku akan
mencium tangan dan memeluknya cak. Dengan perasaan haru bercampur tangis
bahagia aku akan memeluknya, dan meminta nasihat beliau Rasulullah. Pungkasnya…
Beruntung aku bertanya
padanya, yang notabene anak pondok. Yang kutakutkan, ketika aku bertanya
kepadamu. Iya, kamu.. anak muda ngehits, idola orang-orang gak nyata di
instagram itu. Hehe. Aku takut mendapat jawaban: “aku akan mengajak Rasulullah
selfie cak”.. kan kacau. ? hehee,,,
Dari jawaban temanku tadi,
aku ingin membandingkan alangkah bahagianya saat kita bertemu Rasul. Kita
bertemu utusan Allah, pemimpin terbaik sepanjang masa yang dijamin oleh Allah
masuk surgaNya. Kemudian kau salim dan cium tangannya, dank au rengkuh badannya
maka menetes bahagialah engkau. Aku yakin semalam suntuk kau tak akan mengantuk
mendengar cerita langsung dari Rasulullah, aka nada beribu-ribu pertanyaan yang
akan kau tanyakan langsung kepada nabi kita itu.
Bayangkan kawan, kau
bertemu orang yang dijamin masuk surga loh. Apa kau tak mau memeluk badan yang
dirindukan surga itu? Masih ingat kan kisah Rabithah (sahabat rasul) yang ingin
memeluk Rasul sebelum beliau wafat?
Masa kau tak mau memeluk
rasul? Masa kau hanya ingin selfie dengannya? Biar dapat kau pamerkan ke
teman-temanmu gitu? Ah, nampaknya kau harus berfikir ulang deh…
Jangan-jangan nanti Tuhan marah gara-gara kita selfie dengan Nabi? Bagaimana tidak, utusanNya datang ke bumi, bukannya dimanfaatkan untuk diskusi malah foto. hehe
Artinya adalah,
kebahagiaan itu tak selamanya bisa terekam dan terpuaskan oleh jepretan gambar
“foto”. Tidak selamanya.. kau akan jauh lebih merekam suatu kejadian dengan
kondisi yang lebih khidmat, lebih nyaman, lebih tenang dan santai. Tanpa harus
buru-buru untuk mengambil gadget untuk jepret objek yang ingin kita abadikan.
Saat kamera sudah siap menjepret, objek tersebut hilang atau pergi.
Coba saja jika kau tadi
tak sibuk mengambil gadget, kau amati saja objek itu dengan seksama. Kuyakin
saat kau pulang nanti, kau akan lebih banyak bercerita tentang objek tadi
ketimbang hanya sepotong gambar hasil jepretanmu.
Artinya apa, kualitas dari
sebuah peristiwa tertentu akan lepas begitu saja ketika kau hanya sibuk dengan
dirimu sendiri, dengan mengatasnamakan mengabadikan moment atau foto. Sebaliknya,
kau akan lebih mendalami suatu peristiwa ketika kau bersahabat dengan keadaan.
Yuk, kita khidmati lagi
setiap peristiwa yang sudah terjadi maupun yang akan terjadi. Sama-sama belajar
untuk menyenangkan dan memuaskan jiwa, daripada sekedar kepuasan mata. Buat
hidup lebih bermakna, I love you…
Pandanaran,
5 januari 2016 (23:45)
Padahal udah nunggu dengan sangat antusias ada sepenggal kalimat yang menyinggung judulnyaa, jangan selfie nanti masuk neraka, sapa tau kan bisa tobat? Hik hik hik ☺
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus