30
Desember 2017
Jumat
sore ini aku berangkat dari Enggano ke Bengkulu dengan kapal perintis. Kapal
KM.Sabuk Nusantara ini merupakan alat transportasi termurah yang pernah ada,
menurutku. Bagaimana tidak, jarak Enggano-Bengkulu sekitar 90 mil/ 156 KM yang ditempuh
perjalanan laut sekitar 12 jam minimal hanya cukup membayar Rp.14.000,
penumpang mendapat fasilitas tempat tidur/ kabin yang cukup baik, meski hanya
beralaskan karpet, AC yang tidak terlalu dingin. Kurasa dengan harga segitu
sangat murah sekali, daripada naik Kapal Ferry ongkosnya Rp.102.000 untuk bisa
tidur di tamtami, atau jika memlih menggunakan pesawat Susi Air kita harus
mengeluarkan biaya Rp. 260.000 an.
Sebenarnya
aku lebih memilih menggunakan pesawat, selain lebih cepat, juga ketakutan dan
risiko berlayar di laut menjadi alasan bagiku. Namun apa daya, Kapal Perintis
satu-satunya pilihan saat ini, Kapal Ferry tidak berlayar, dan pesawat sudah full seat. Sementara aku harus sudah
tiba di Bengkulu maksimal hari minggu, mengingat aku ada agenda di hari Senin
tanggal 25 Desember 2017.
Alhamdulillah,
setelah melewati semalaman di lautan lepas samudera hindia. Sekitar pukul tujuh
lebih beberapa menit di hari Sabtu kapal Perintis sudah merapat di pelabuhan
perintis Pulau Baai Bengkulu. Aku dan dr.Andi dijemput Yuk Nita (isteri
dr.Andi) dan Eyza (anak). Setelah istirahat dan mandi, aku diantar ke jalan
Suprapto untuk membeli beberapa keperluan sambil menunggu jemputan travel.
Rencananya, sabtu sore aku akan melakukan perjalanan menuju Palembang.
Malam
masih gelap, udara di luar tak kalah dari sejuknya AC di mobil tadi. Kini aku
sudah tiba di depan Masjid Darul Muttaqin kawasan Maskarebet Palembang. Setelah
melalui perjalana yang cukup membuat
lidahku tak berhenti meminta untuk diberikan keselamatan, mengingat malam tadi
hujan mengguyur sepanjang perjalanan kami. Sementara medan jalan yang dilalui
jalur Bengkulu-Palembang via Curup sangat ekstream, jalan berkelak-kelok khas
daerah Sumatera, kanan jurang dan tepi kiri tebing. Pemandangan cukup indah
saat sore berada di puncak Curup.
Aku
singgah di Masjid ini untuk sekedar menunggu mentari menyapaku pagi ini, waktu
shubuh masih lumayan lama. Cukup buatku mandi, dan melaksanakan ibadah sunnah
lainnya sambil menunggu adzan. Masya Allah, aku menemukan suasana yang langka
kutemui di Enggano, di Masjid Darul Muttaqin ini anganku berputar seolah-olah
aku sedang berada di Jogja. Tempat ini terasa nyaman bagiku, bangunan masjid
yang terbilang cukup mewah, terdiri dari dua lantai. Jamaah laki-laki dan
perempuan di lantai satu, pintu-pintu masjid selalu tertutup karena masjid ini
ber-AC, kamar mandi dan tempat wudhu yang bersih dan cukup besar, di dukung
dengan halaman parkir yang luas, ditambah ukiran kaligrafi yang bercat kuning
emas terrukir indah di sekeliling masjid dan kubahnya dari dalam menambah kesan
damai bagi setiap orang yang bersujud di dalamnya.
Tidak
hanya itu, aku lebih berdecak kagum saat suara loudspeaker berbunyi. Khas seperti di Madura, kami biasa
menyebutnya dengan mualik, suara
murottal untuk membangunkan orang-orang untuk sholat lail dan bersiap-siap
sebentar lagi adzan shubuh. Tak lama kemudian, jamaah masjid mulai banyak
berdatangan, ya Allah aku senang sekali. Aku merasa bertemu dengan saudara
sendiri, meskipun kami belum pernah kenal sebelumnya. Saudara seiman. Setelah
sholat shubuh dilanjut dengan dzikir bersama, dan kemudain salam-salaman sesama
jamaah dan imam suasana ini seperti masjid-masjid di Madura. Kulihat jamaah
memenuhi shaf-shaf, tak kurang dari 4 shaf. Sangat berbeda dengan di Enggano
batinku, di masjid jamaahnya paling hanya pak Imam dan isterinya yang istiqomah
meramaikan masjid. Aku menemukan kedamaian disini, semoga nanti aku hidup di
lingkungan seperti ini, semoga rumah kita dekat masjid. Amiiin.
Aku mencintai perjalanan. Bagiku, setiap perjalanan ada kisah dan pengalaman baru. Ada kawan baru, ada tanah baru tempat kening bersujud, ada masjid baru tempat diri menghamba. Semakin berjalan, semakin kita mengetahui bahwa bumi Allah ini luas dan maha Indah. Semakin kita sadar bahwa kita kecil semantara Tuhan maha besar.
Bubur ayam di suatu
pagi.
Fajar
menyapa pagiku di bumi Sriwijaya, sinarnya masih ragu dan malu-malu untuk
menyinari bumi. Ia tak ingin terlalu menyengat tubuhku di kota ini, setelah
dhuha aku bertemu dengannya. Perempuan asing yang kutemu 8 bulan yang lalu saat
kami sama-sama sedang menempuh pendidikan di Pusdikkes TNI AD. Setelah
berdiskusi cukup lama keputusannya adalah, dia mengantarku ke penginapan dan sebelumnya
sarapan pagi dulu.
Ya
Allah, ini adalah kali pertama setelah taman hatiku layu. Perempuan asing ini
kembali menyiramnya dengan air suci yang tak kutahu darimana asalnya kecuali
dari Allah yang maha Suci. Aku tahu di musim tak menentu ini, taman hatiku
sedang kedatangan seseorang yang mampu merawat dan menyiraminya dengan telaten
hingga bunga-bunga hati bermekaran dan semerbak. Aku tak berharap dia akan layu
dan jatuh pada tanah kembali.
Kali
pertama berboncengan satu motor denganmu, meski aku dan kamu sebenarnya masih
malu-malu. Ini pertemuan kedua setelah 8 bulan yang lalu kami masih hanya
saling kenal karena kebetulan kita satu kelas. Aku sangat hati-hati membawa
motor beat berwarna putih pelipis hijau milikmu itu, bukan karena aku tak
memakai helm, tapi karena aku belum memiliki SIM (surat izin menikah). Hehee…
Ah,
perempuanku.. kamu tak akan tahu bagaimana perasaanku kala itu. Aku merasa
membonceng Ibuku, harus hati-hati membawanya. Kami berkeliling komplek untuk
mengenal jalan, takut nyasar nantinya. Sambil mencari warung makan yang buka,
karena hari ini orang-orang sedang libur panjang.
Bubur
ayam menjadi pilihanku, pilihanmu juga. Kita memesan dua mangkok bubur ayam dan
minum air gelas, aku memalingkan wajahku ke keramaian lalu lintas karena aku
takut kamu juga sadar jika aku lamat-lamat memperhatikanmu. Perempuan yang saat
ini duduk di depanku, tawa kita pecah saat mata kita saling bertemu pandang.
Sebenarnya
bubur ayam ini tak terlalu nyaman, entah karena belum terbiasa dengan lidahku.
Namun karena aku makan bersamamu, satu mangkok kuhabiskan juga. Sambil sesekali
kamu bercerita tentang masa kecilmu di daerah ini. Oh Tuhan, nasi sudah menjadi
bubur. Cinta dan hatiku telah lebur bersama senyum indah perempuan di depanku
ini. Himpun kami Tuhan.
Perjuangan keluarga
Madura
Aku
harus banyak-banyak bersyukur memiliki keluarga besar. Menjadi bagian dari
keluarga H.Nabiel yang luar biasa. Kami memanggilnya Eppak (dalam Bahasa Madura artinya Bapak). Kurasa aku mewarisi sifat berani dari Eppak,
bahkan diusianya yang sudah menginjak 76 tahun ini Bapak masih nekat dalam
banyak hal. Meski kadang kubilang sifatnya jatuh pada angkuh. Dia tak pernah
berkompromi dengan kebathilan, tidak bisa bermuka dua, artinya jika sudah tidak
suka sama satu hal maka akan nampak dari ekspresi dan hari-harinya.
Usianya
memang tak muda lagi, namun nasihat dan ilmunya seperti tak habis-habis jika
bertemu denganku. Ada saja yang ingin beliau bagi untuk anak bungsunya.
Fisiknya sudah sakit-sakitan, kadang demam, nyeri lutut, kaku dan menggigil
jika kemalaman dari sawah. Hal ini semakin membuatku takut jika Allah
memanggilnya, aku masih sangat ingin bersamanya, mendengar nasihat dan belajar
dari Eppak. Ya Allah, panjangkan usianya..
Keluargaku
(Mas Har, mbak Dian, mbak Iis, Eppak, Emmak, Salmaan, dan Syamil akan berangakt
dari Bandara Juanda Surabaya menuju Lampung tanggal 20 pukul 18:15. Bukan tanpa
halangan, jarak Sumenep-Surabaya yang biasanya dapat ditempuh maksimal 5 jam
tiba-tiba berubah, diluar perkiraan. Rombongan dari Saronggi berangkat pukul
10:00 pagi, bahkan sampai 17:00 belum sampai Bandara.
Group
WA keluarga mendadak ramai, semua anggota keluarga berdoa semoga sampai Bandara
tidak terlambat. Maklum kali ini musim liburan, suasana jalan kota Surabaya
macet merayap. Aku ketar-ketir, sementara detak jam terus berputar. Detik
berganti, menit berlalu, pukul 18 pun tiba, kabar terakhir rombongan masih
sampai jalan tol, terjebak macet. Allahu Akbar, doa kamipun berganti. Semoga
Lion Air yang akan ditumpangi delay,
begitu harap kami.
Namun
Allah berkehendak lain, mas Har sampai di Bandara dan pesawat sudah terbang 6
menit yang lalu katanya. Tidak ada kompensasi, tiket tidak bisa di refund. Kami sekeluarga pusing, aku pun juga. Takut rombongan gagal ke
Lampung dan gagal ke Palembang. Akhirnya kami mencari jaddwal penerbangan untuk
besok, Alhamdulillah dapat. Meskipun harganya tidak murah, setidaknya rombongan
harus tetap berangkat karena besok acara pernikahan Elza (sepupu mbk Dian) dan
tanggal 25 acara lamaranku.
Rombongan
harus mencari hotel di dekat bandara agar besok tidak terlambat lagi. Dan
Alhamdulillah Allah masih mengizinkan mas har dan bapak/Ibu sampai di Lampung
dengan selamat. Untuk mengikuti acara pernikahan Elza.
Hari
ahad, tanggal 24 rombongan dari Madura ditambah Pak Narjo dan Ibu (orang tua
mbak Dian) dan mas Faizin (adiknya mbak Dian) pagi-pagi berangkat dari Lampung
menuju Palembang dengan mobil Innova. Mas Faizin yang menyetir, dasar mas Har
gak mau nyetir dengan alasan tidak tahu medan Sumatera katanya. Berbekal GPS
Alhamdulillah setelah menempuh perjalanan 13 jam, rombongan langsung sampai di
penginapan. Bertemu denganku.
Bahagianya
begitu dalam. Perjungan yang besar berbuah hasil, untuk pertama kalinya aku
bertemu Eppak dan Emmak di tempat selain Madura dan Jogja. Kali ini kami
bertemu di Palembang. Si Salmaan, keponakan paling lengket denganku turun dari
mobil langsung lompat dan minta gendong. Ah, bahagianya.
Jadwal
Bapak begitu padat, selesai check in
dan mandi. Kami jalan-jalan, ingin melihat jembatan ampera, kata mas Har penuh
semangat. Namun Bapak dan Ibu tidak ikut, beliau istirahat di hotel.
Shubuh
kami bangun, kulihat mbak Iis sudah sibuk membuka barang bawaan untuk dibawa ke
rumahmu (calon tunanganku). Mirip hantaran, meskipun sangat sederhana. Hanya
beberapa kotak kue, dan dua paket berisi gamis, dan alat make up seadanya. Terus Ibuku mengeluarkan cincin emas sambil
berbisik “ini sebenarnya bukan cincin yang untuk tunanganmu, cincin yang kamu
beli ketinggalan di Madura” kata Ibu. Ya Allah, aku tertawa, hal ini mirip
cerita di film-film drama. Bahkan semapt terlintas dipikiranku, kalaupun Mbak
Ratniya tidak membelikan cincin ganti saat di Surabaya, mungkin cincin yang
terbuat dari kulit penyu ini yang aku jadiakan cincin tunangan. Hehee…
Ada
yang kurang kata mbak Iis, kita tambah hiasannya dnegan pita, dan parcel buah.
Akhirnya aku dan Mbak iis mencari tambahan itu, berkeliling seputar komplek.
Merayu Ibu-ibu di pasar yang semula hanya menjual buah saja untuk bisa
dijadikan parcel, dihias dipercantik dibantu mbak iis. Ya Allah, lucu sekali
jika kuingat waktu itu.
Kekasihku,
jika kau baca catatanku ini. Semoga ini menjadi saksi perjuangan menggapai
cinta. Sekaligus alasan mengapa engkau layak kuperjuangankan, karena yang
istimewa yang berhak diperjuangkan. Hee.
Teruntuk
keluargaku, terimakasih sudah mengantarkan kebahagiaanku sejauh ini. Eppak dan
Emmak, mator sakalangkong. Perjalanan Sumenep-Surabaya, Surabaya-Lampung,
Lampung-Palembang bukan jarak yang dekat, aku tahu engkau lelah, semoga lelahmu
menjadi amal sholeh bagimu Eppak Emmak, tanpamu aku bukan apa-apa. Untuk mas
Har, mbk Dian, dan Mbak Iis dan kakak-kakakku lainnya, terimakasih semua
bantuan pikiran, tenaga, dan materi. Bukan nominal sedikit mengantar Eppak
Emmak sampai di tanah Palembang, terimakasih dari adik bungsu. Buat mas Fazrin,
Pak Narjo dan Ibu Lampung, terimakasih sekali sudah mengantar kami sampai
Palembang, sudah menjadi juru bicara keluarga kami, dan sudah meminjamkan
mobilnya, terimakasih tiada terkira.
Akhirnya.
Akhirnya
hari ini terjadi juga. Hari tanggal 25 Desember 2017, hari yang bagi umat
Kristiani merupakan hari rayanya. Hari yang menyenangkan bagi mereka. Pun
bagiku.
Akhirnya
hari adalah hari yang aku nanti setelah sebelumnya 3 September lalu aku
memberanikan diri silaturahmi dan berkenalan dengan orang tuamu, di Palembang.
Dan saat itu aku mengutarakan niat baikku untuk mengenalmu lebih dekat, dan
berniat untuk membangun hubungan yang lebih serius, denganmu. Perempuan asing
yang baru kukenal tidak genap setengah tahun.
Hari ini adalah pembuktianku padamu, dan pada keluargamu. Bahwa aku, laki-laki kurus yang kau sebut unyu itu juga ingin mengenalkan dirimu pada keluarganya. Mengenalkan keluargaku pada keluargamu, hingga keluarga kita berdua menjadi satu keluarga besar. Laki-laki dari ujung pulau Madura yang kau temui di Pusdikkes itu menepatai janjinya.
Hari
ini dia datang bersama kelurganya kerumahmu, menyampaikan niat ikhlasnya untuk
memilihmu menjadi kekasih hatinya. Memilihmu menjadi bagian dari kisah-kisah
hidupnya setelah ini. Akhirnya, hari ini datang juga.
Kekasihku,
ini bukan akhir. Ini baru permulaan, ini babak baru dalam hubungan kita. Batu
pertama yang kita pijak bersama, kita berharap pijakan awal ini merupakan batu
yang kokoh. Masih ada batu-batu selanjutnya yang kana kita pijak bersama. Dan
kita nantikan kehadirannya, muara semua kasih dan sayang yang diridhoi Tuhan.
Pernikahan.
Duhai
perempuan asing yang kupinang engkau dengan lafaldz “Bismillahirrohmanirrohim”.
Dengan penanda cincin emas yang dihadiahkan mbak Ratniya, karena cincin yang
kubeli ketinggalan di Madura. Kenapa berupa cincin kekasihku, cincin itu
bentuknya bulat. Mengikat indah di jari tengahmu, tiada ujung. Aku berharap
demikian, hubungan kita tiada ujung seperti bentuk cincin, berkilau seperti
warna kuningnya, dan istimewa seperti logam emas. Kurasa filosofinya demikian.
Maaf, kekasihmu ini sok filsuf.
Dan, Akhirnya aku harus upload kisah ini. Sebagai jawaban atas kisah sebelumnya "Kado Istimewa di Malam Lebaran" yang sempat kau baca.
Dopo Enggano, 4 Januari 2017
Maafkan aku lancang komen ya cak, bolehkah aku menjitak kalian berdua?masya allah kalian iniii :(
BalasHapusHehee... Doakan kami yaa...
Hapus