"Semua penulis akan mati. Hanya karyanyalah yang akan abadi. Maka tulislah sesuatu yang membahagiakan dirimu di akhirat nanti". (Ali bin Abi Thalib). Maka dari itu, melalui blog ini aku ingin mengabadikan hidupku, bahkan lebih dari nyawaku.
Home » » Kado Istimewa di Malam Lebaran

Kado Istimewa di Malam Lebaran



Sore ini masih seperti biasa, aku mulai terbiasa di ruang pengasingan ini. Di kamar berukuran 3x3 dengan kasur, bantal, almari, dan kipas angin yang baru kubeli beberapa waktu yang lalu untuk menantang udara panas di kota Purworejo. Ya, aku sengaja membiarkan kipas angin terus berputar untuk melawan pengapnya udara di kamar ini.  Sementara aku mematung menatap langit-langit kamar yang tercetak tidak terlalu rata, sesekali mengambil smartphone melihat apakah ada pesan atau tidak.

Hari ini aku menunggu orang terpenting dalam hidupku, teramat penting. Siapa lagi? Kuyakin kau dapat menebaknya dengan nilai 100. Bagus….

Dia adalah Ibu dan Bapakku. Iya; mereka, kakakku, kakak iparku dan keponakanku tersayang yang bertolak dari Madura menuju Jogja kemudian melanjutkan ke Purworejo. Kota kecil disebelah barat DIY.

Lamunanku buyar, ketika smartphoneku bordering pertanda ada panggilan masuk. Dari balik handphoneku terdengar suara kakakku dengan jelas memintaku untuk menjemput mereka karena sudah sampai di masjid agung Purworejo. Alhamdulillah, batinku. Dengan motor plat AB aku langsung menuju masjid agung dan bertemu mereka. Orang-orang terkasih dalam hidupku.. ahhhhh,.. peluk erat Emmak, Eppak rasanya tak ingin kulepas segera. Aku masih ingin memeluk tubuh ringkihnya, dan mencium pipinya yang keriput dengan semua rasa kasih sayang yang kupunya.

Setelah melaksanakan sholat ashar, kakakku meminta aku menunjukkan Rumah Sakit tempat aku bekerja. Ya, dengan bangga aku menujukkan mereka Rumah Sakit Budi Sehat dimana aku bekerja sejak 1 september kemarin. Kemudian aku membawa mereka singgah di kamar kosanku.

Semula biasa saja, basa-basi pun keluar. Sesekali menanyakan kabar orang-orang di Rumah (Madura), sambil aku menggendong keponakan ternakalku (Salmaan Al Faatih), dan melayani rengekan keponakanku lainnya Kholid, Royyan, dan Khansa. Eppak mulai ambil bicara. Sssst..!!

Intinya mereka cukup senang, karena aku sudah bekerja, bahkan sebelum prosesi sumpah apoteker kulafalkan. Tapi bukan itu yang ingin kuceritakan saat ini. Bukan soal kebanggaan orang tuaku, biar episode ini akan kusimpan sendiri.

***

Sambil kakakku nyeletuk soal “gaji dan nikah”, Eppak semakin bersemangat untuk menasihati anak bungsunya ini. Ah aku mulai gelisah, pasti bahas soal pertunangan kemarin. batinku.

Mendadak kamar kosku hening.

Lebih hening dari kondisi ujian sekolah. “sekarang, aku tak mau menunjukkanmu pada perempuan ini atau itu. Terserah kamu sekarang mau cari sendiri atau bagaimana, yang penting kalau sudah mantap dalam sholat malammu. Berikan nama itu pada Eppak, biar nanti coba Eppak pelajari dan diskusikan dengan Allah” katanya dalam bahasa Madura. “Maafkan Eppak, Emmak dan Masmu, atas kejadian kemarin. Kita niatnya baik, supaya kamu dapat isteri yang sholihah yang jelas. Yang gak jauh-jauh dari rumah, dan kita juga masih kasihan sama adikmu itu. Niatnya sih agar gak kemana-mana, biar jadi satu keluarga begitu. Tapi ya kalau dia sudah tidak mau dikasihani? Mau gimana lagi?” Tambahnya.

Suasana semakin hening, hanya terdengar kecikikan kecil masku yang meledekiku. Tanganku dingin, menyimak dengan seksama setiap kata yang keluar dari bibir Eppak, sambil kuremas tangan Salman buat pelampiasan batinku yang mulai membuncah.
Kemudian Eppak melanjutkannya, “Kalo sekarang, siapapun pilihan kamu, saya ngikut. Keujung duniapun kalo itu jodohmu, insyaAllah Eppak dukung”. Aku mulai menjawab: “Jauh gak apa-apa Pak?” tanyaku dengan nada takut.

Bukannya Eppak yang menjawab, kali ini justru masku yang nyerobot dengan nada satir “ya, terserah yang penting dipikirkan biaya sana-sininya” celetuknya. Emmak menambahi dengan nada tidak setuju “janganlah, kalo ada yang dekat, yang masih bisa dijangkau.  Emmak, Eppak sudah tua, kalau ada apa-apa biar cepat datang”.

Aku bagai di persimpangan. Tapi sudahlah, aku tak mau memikirkan itu dulu. Biarkan “kamu” menjadi rahasia antara aku dan Tuhanku. Belum waktunya kuceritakan pada Eppak Emmak, apalagi masku. Huuh….

Hadiah Istimewa
Sambil mengorek-ngorek tas berwarna biru, Emmak nampak sibuk mengeluarkan sesuatu dari tas yang sejak tadi dipangkunya. “ini Emmak bawakan kamu selimut, dipakai ya…” katanya sambil menyerahkan kain berenda merah bercorak hitam disamping-sampingnya.
Awalnya kutolak pemberiannya, “aku dah punya selimut Mak, lagian disini panas” kataku dengan nada ringan. Tapi lagi-lagi masku nyeletuk dari atas ranjang “ambil saja, itu niatnya dikasih ke Shofi. hehe” ejeknya. Dengan jelas masku menyebut nama mantan tunanganku itu.

Allah….

Kemudian ibuku menarik tanganku seraya meletakkan selimut itu diatas tanganku dengan lembut dia berkata “sudah, disimpan saja. Barangkali bermanfaat”. Tanpa pikir panjang langsung kumasukkan selimut tebal itu kedalam lemari dan menguncinya.

Kami keluar kamar, sambil kuantar keluargaku naik keatas mobil untuk pulang lagi ke Jogja. Aku menatap lamat-lamat kening Emmak, seolah dia berkata. Hati-hati nak…

Tangisku kuat kusembunyikan di wajah, namun dia menetes di dasar hati kemudian basah.
Aku melihat ke langit, senja sudah mulai tenggelam bersama dengan punggung Emmak yang naik terakhir keatas mobil kemudian hilang dari pandangan saat ditikungan.

Dari pengeras suara mushollah di belakang kos kudengar, asma Allah dikumandangkan. Allahu akbar allahu akbar. Pertanda pemilik jiwa sejati sudah memanggil. Alhamdulillah, selamat berbuka puasa, batinku.

Sehabis melahap makanan yang dibawa oleh Emmak dari Jogja, sholat, mengaji, dan sholat isyak di mushollah. Aku kembali ke kamar hatiku.

Rahasia
Takbir berkumandang dari TOA samping kanan dan kiri kamar, menyeruak masuk lewat fentilasi dan jendela kamar yang sengaja kubuka. Memanggil, dan mengeja menyerukan Asma Allah yang maha suci. Aku membuka lemari dan mengambil selimut pemberian Emmakku tadi. Keningku berkerut, tanda tak mengerti.

Aku cium kain tebal itu dengan khusyuk. Aroma wanginya melekat di hidung pesekku. Kemudian aku jatuh diatas kasur lebarku. Sambil terus berpikir, entah apa yang aku pikirkan.

Anganku berputar, kubiarkan sel-sel otakku bekerja mendefiniskan apa yang aku fikirkan. Kutunggu NT mentransformasikan dan mengubahnya menjadi bentuk reaksi. Akhirnya, senyumku tak dapat kusembunyikan lagi. Ternyata aku bahagia, kata otakku berbisik.

Sangat jarang Emmakku memberiku hadiah. Terakhir kapan ya? Ah, lupa. Saking lamanya, hee.

Biasanya disetiap malam lebaran waktu aku SD-SMP emmak selalu memberiku hadiah sarung dan peci untuk kugunakan besok pagi ke masjid untuk sholat Ied. Itu adalah hadiah rutin karena aku tuntas puasa Ramadhan, katanya. Setelah SMA biasanya aku hanya diberikan uang untuk membelinya sendiri.

Kali ini? Bibirku mengembang, aku tersenyum lagi. Di usiaku yang 23 ini, Emmak kembali memberiku hadiah yang sepesial. Yang berbeda dari peci dan sarung. Di malam Lebaran Idul Adha ini,  Aku serasa kembali pada masa kecilku. Ah, coba deh kamu bayangin. Hadiah ini dibawanya langsung dari jarak yang lebih dari 608,9 Km via darat., bukan jarak yang dekat bukan? Kemudian diaserahkan langsung padaku dengan tangan lembutnya. Ya padaku. Anak terakhirnya yang paling ganteng. Hahaaa..

Bahagianya, ini namanya kebahagian yang sesungguhnya.

Aku yakin kamu dapat merasakan ruh kebahagiaanku. Ya Allah….

Tapi, ini belum selesai. Lagi-lagi yang namanya istimewa itu biasanya tidak mudah ditebak. Pasti ada hal lain yang belum berhasil kutebak.

Mengapa malam lebaran? Mengapa hadiah itu berupa selimut? Mengapa berwarna merah? Betulkah celoteh masku tadi kalo selimut ini sebenarnya untuk “dia”? wah, jika ia. Ini adalah teka-teki yang panjang.

*
Jiwa filsafatku mulai bangkit… memerhatikan, meneliti, dan mencoba menafsirkan.
Perlahan labirin itu mulai dapat kuurai.

Pertama, kenapa malam lebaran? Ya ini malam lebaran Idul Adha. Bukan idul fitri, bukan pula hanya solat 2 rokaat, silaturrahmi, maaf-maafan, sembelih hewan qurban, makan daging, atau nyekar ke kuburan. Tapi, ingatkah kamu tentang sejarah antara Ibrahim dan Ismail?

Jauh-jauh aku berfikir keras tentang bapak para nabi itu. Berjuang keras mengabdi pada allah, dengan segala cobaan dan penuh ketaatan dia korbankan semua hal yang dia miliki untuk Allah. Termasuk anaknya, Ismail. Buah hatinya, tak luput dari pengorbanannya. Ya, aku yakin kamu semua ingat betul kisah yang jelas-jelas diabadikan dalam Al-Quran surah Ash-Shaffat {37}:102  sebagaimana percakapan Ibrahim “Wahai anakku! Sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu?…“Ia (Ismail) menjawab, ‘Hai bapakku! Kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, Insya Allah! Kamu mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”.

Seolah-olah Emmakku menyuruhku mengambil pelajaran dari kisah ini. Bahwa aku harus belajar ikhlas karena Allah. Mengorbankan apapun di jalan Allah dengan ketaqwaan, termasuk mengorbankan hatiku yang terlanjur memilihmu dulu, kemudian melepasmu dengan ikhlas, dan mengajariku untuk menjadi orang yang sabar atas semua kejadian. insyAllah…

Kedua, mengapa berupa selimut? Sambil cengengesan aku mengurainya. Selimut, selimut, Selimut. Daripada aku jadi gila berpikir ini, lebih baik kugunakan teori ngawurku untuk mendefisikannya.

Kamu tahu fungsi selimut kan? Atau kemul? Ya fungsinya hampir sama dengan bir pada orang-orang Eropa pada musim dingin. Tak lain, untuk menghangatkan badan, atau sebagai teman tidur yang setia menemani rasa gigilmu karena dingin. Kurasa teori itu sangat ngawur sekali jika kubilang Emmak sengaja memberiku selimut untuk menggantikan posisi “istri” yang seharusnya menemaniku saat aku kedinginan. Tapi setidaknya itu yang terfikirkan dibenakku. Dasar Cak Udin aneh, pasti kamu akan bergerutu demikian.. biarlah.

Aku teringat kata-kata Socrates pada tahun 470-339 sebelum masehi. Filsuh Yunani itu dengan gamblang menyeru manusia untuk menikah, “Dengan segala cara menikahlah. Jika mendapat istri yang baik, anda akan menjadi bahagia. Jika mendapatkan istri yang buruk, Anda kaan menjadi Filsuf”.

Jika teori keduaku benar, maka Socrates harus merevisi perkataannya, bukan menikahlah, dan istri. Tapi belilah selimut. Hahaaa, jadinya nanti seperti ini.
“Dengan segala cara belilah selimut. Jika mendapat selimut yang baik, anda akan menjadi bahagia. Jika mendapatkan selimut yang buruk, Anda kaan menjadi Filsuf”. Cak Udin.

Sudah cukup ketawanya,

Untuk pertanyaan ke-3 dan ke-4, aku biarkan kamu bermain dengan imajinasimu sendiri. Jangan mau kalah dengan kegilaanku ya mendefinisikan rahasia dari Emmakku. Aku percaya Emmak selalu punya rahasia yang susah ditebak, hehe. Sudahlah ngantuk, besok pagi-pagi buta kita harus pergi ke masjid atau lapangan untuk menunaikan ibadah sholat idul Adha.

Selamat idul adha, semoga kita bisa mengambil hikmah.
Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar. Laa Ilaha Illallahu Allahuakbar, Allahu Akbar, Walillahilham.


Baledono, Purworejo
Salam hangat, 10 Dzulhijjah 1437.

0 komentar:

Posting Komentar


My Photo Galery

Translate

 
Support : Your Link | Your Link | Your Link
Copyright © 2013. Sejernih Sungai Cinta - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger