Sore ini
masih seperti biasa, aku mulai terbiasa di ruang pengasingan ini. Di kamar
berukuran 3x3 dengan kasur, bantal, almari, dan kipas angin yang baru kubeli
beberapa waktu yang lalu untuk menantang udara panas di kota Purworejo. Ya, aku
sengaja membiarkan kipas angin terus berputar untuk melawan pengapnya udara di
kamar ini. Sementara aku mematung
menatap langit-langit kamar yang tercetak tidak terlalu rata, sesekali
mengambil smartphone melihat apakah
ada pesan atau tidak.
Hari ini
aku menunggu orang terpenting dalam hidupku, teramat penting. Siapa lagi? Kuyakin
kau dapat menebaknya dengan nilai 100. Bagus….
Dia adalah Ibu
dan Bapakku. Iya; mereka, kakakku, kakak iparku dan keponakanku tersayang yang
bertolak dari Madura menuju Jogja kemudian melanjutkan ke Purworejo. Kota kecil
disebelah barat DIY.
Lamunanku buyar,
ketika smartphoneku bordering pertanda
ada panggilan masuk. Dari balik handphoneku terdengar suara kakakku dengan
jelas memintaku untuk menjemput mereka karena sudah sampai di masjid agung
Purworejo. Alhamdulillah, batinku. Dengan motor plat AB aku langsung menuju
masjid agung dan bertemu mereka. Orang-orang terkasih dalam hidupku.. ahhhhh,..
peluk erat Emmak, Eppak rasanya tak ingin kulepas segera. Aku masih ingin
memeluk tubuh ringkihnya, dan mencium pipinya yang keriput dengan semua rasa
kasih sayang yang kupunya.
Setelah melaksanakan
sholat ashar, kakakku meminta aku menunjukkan Rumah Sakit tempat aku bekerja.
Ya, dengan bangga aku menujukkan mereka Rumah Sakit Budi Sehat dimana aku bekerja
sejak 1 september kemarin. Kemudian aku membawa mereka singgah di kamar
kosanku.
Semula
biasa saja, basa-basi pun keluar. Sesekali menanyakan kabar orang-orang di
Rumah (Madura), sambil aku menggendong keponakan ternakalku (Salmaan Al Faatih),
dan melayani rengekan keponakanku lainnya Kholid, Royyan, dan Khansa. Eppak
mulai ambil bicara. Sssst..!!
Intinya
mereka cukup senang, karena aku sudah bekerja, bahkan sebelum prosesi sumpah
apoteker kulafalkan. Tapi bukan itu yang ingin kuceritakan saat ini. Bukan soal
kebanggaan orang tuaku, biar episode ini akan kusimpan sendiri.
***
Sambil kakakku
nyeletuk soal “gaji dan nikah”, Eppak semakin bersemangat untuk menasihati anak
bungsunya ini. Ah aku mulai gelisah, pasti bahas soal pertunangan kemarin.
batinku.
Mendadak
kamar kosku hening.
Lebih hening
dari kondisi ujian sekolah. “sekarang,
aku tak mau menunjukkanmu pada perempuan ini atau itu. Terserah kamu sekarang
mau cari sendiri atau bagaimana, yang penting kalau sudah mantap dalam sholat
malammu. Berikan nama itu pada Eppak, biar nanti coba Eppak pelajari dan
diskusikan dengan Allah” katanya dalam bahasa Madura. “Maafkan Eppak, Emmak dan Masmu, atas kejadian kemarin. Kita niatnya
baik, supaya kamu dapat isteri yang sholihah yang jelas. Yang gak jauh-jauh
dari rumah, dan kita juga masih kasihan sama adikmu itu. Niatnya sih agar gak
kemana-mana, biar jadi satu keluarga begitu. Tapi ya kalau dia sudah tidak mau
dikasihani? Mau gimana lagi?” Tambahnya.
Suasana semakin
hening, hanya terdengar kecikikan kecil masku yang meledekiku. Tanganku dingin,
menyimak dengan seksama setiap kata yang keluar dari bibir Eppak, sambil
kuremas tangan Salman buat pelampiasan batinku yang mulai membuncah.
Kemudian Eppak
melanjutkannya, “Kalo sekarang, siapapun
pilihan kamu, saya ngikut. Keujung duniapun kalo itu jodohmu, insyaAllah Eppak
dukung”. Aku mulai menjawab: “Jauh
gak apa-apa Pak?” tanyaku dengan nada takut.
Bukannya Eppak
yang menjawab, kali ini justru masku yang nyerobot dengan nada satir “ya, terserah yang penting dipikirkan biaya
sana-sininya” celetuknya. Emmak menambahi dengan nada tidak setuju “janganlah, kalo ada yang dekat, yang masih
bisa dijangkau. Emmak, Eppak sudah tua,
kalau ada apa-apa biar cepat datang”.
Aku bagai
di persimpangan. Tapi sudahlah, aku tak mau memikirkan itu dulu. Biarkan “kamu”
menjadi rahasia antara aku dan Tuhanku. Belum waktunya kuceritakan pada Eppak
Emmak, apalagi masku. Huuh….
Hadiah Istimewa
Awalnya kutolak
pemberiannya, “aku dah punya selimut Mak,
lagian disini panas” kataku dengan nada ringan. Tapi lagi-lagi masku nyeletuk dari atas ranjang “ambil saja, itu niatnya dikasih ke Shofi.
hehe” ejeknya. Dengan jelas masku menyebut nama mantan tunanganku itu.
Allah….
Kemudian ibuku
menarik tanganku seraya meletakkan selimut itu diatas tanganku dengan lembut
dia berkata “sudah, disimpan saja. Barangkali
bermanfaat”. Tanpa pikir panjang langsung kumasukkan selimut tebal itu
kedalam lemari dan menguncinya.
Kami keluar
kamar, sambil kuantar keluargaku naik keatas mobil untuk pulang lagi ke Jogja. Aku
menatap lamat-lamat kening Emmak, seolah dia berkata. Hati-hati nak…
Tangisku kuat
kusembunyikan di wajah, namun dia menetes di dasar hati kemudian basah.
Aku melihat
ke langit, senja sudah mulai tenggelam bersama dengan punggung Emmak yang naik
terakhir keatas mobil kemudian hilang dari pandangan saat ditikungan.
Dari
pengeras suara mushollah di belakang kos kudengar, asma Allah dikumandangkan.
Allahu akbar allahu akbar. Pertanda pemilik jiwa sejati sudah memanggil.
Alhamdulillah, selamat berbuka puasa, batinku.
Sehabis
melahap makanan yang dibawa oleh Emmak dari Jogja, sholat, mengaji, dan sholat
isyak di mushollah. Aku kembali ke kamar hatiku.
Rahasia
Takbir
berkumandang dari TOA samping kanan dan kiri kamar, menyeruak masuk lewat
fentilasi dan jendela kamar yang sengaja kubuka. Memanggil, dan mengeja menyerukan
Asma Allah yang maha suci. Aku membuka lemari dan mengambil selimut pemberian
Emmakku tadi. Keningku berkerut, tanda tak mengerti.
Aku cium
kain tebal itu dengan khusyuk. Aroma wanginya melekat di hidung pesekku. Kemudian
aku jatuh diatas kasur lebarku. Sambil terus berpikir, entah apa yang aku
pikirkan.
Anganku berputar,
kubiarkan sel-sel otakku bekerja mendefiniskan apa yang aku fikirkan. Kutunggu NT
mentransformasikan dan mengubahnya menjadi bentuk reaksi. Akhirnya, senyumku
tak dapat kusembunyikan lagi. Ternyata aku bahagia, kata otakku berbisik.
Sangat jarang
Emmakku memberiku hadiah. Terakhir kapan ya? Ah, lupa. Saking lamanya, hee.
Biasanya disetiap
malam lebaran waktu aku SD-SMP emmak selalu memberiku hadiah sarung dan peci
untuk kugunakan besok pagi ke masjid untuk sholat Ied. Itu adalah hadiah rutin karena
aku tuntas puasa Ramadhan, katanya. Setelah SMA biasanya aku hanya diberikan
uang untuk membelinya sendiri.
Kali ini? Bibirku
mengembang, aku tersenyum lagi. Di usiaku yang 23 ini, Emmak kembali memberiku
hadiah yang sepesial. Yang berbeda dari peci dan sarung. Di malam Lebaran Idul
Adha ini, Aku serasa kembali pada masa
kecilku. Ah, coba deh kamu bayangin. Hadiah ini dibawanya langsung dari jarak
yang lebih dari 608,9 Km via darat., bukan jarak yang dekat bukan? Kemudian
diaserahkan langsung padaku dengan tangan lembutnya. Ya padaku. Anak terakhirnya
yang paling ganteng. Hahaaa..
Bahagianya,
ini namanya kebahagian yang sesungguhnya.
Aku yakin
kamu dapat merasakan ruh kebahagiaanku. Ya Allah….
Tapi, ini
belum selesai. Lagi-lagi yang namanya istimewa itu biasanya tidak mudah
ditebak. Pasti ada hal lain yang belum berhasil kutebak.
Mengapa malam
lebaran? Mengapa hadiah itu berupa selimut? Mengapa berwarna merah? Betulkah celoteh
masku tadi kalo selimut ini sebenarnya untuk “dia”? wah, jika ia. Ini adalah
teka-teki yang panjang.
*
Jiwa filsafatku
mulai bangkit… memerhatikan, meneliti, dan mencoba menafsirkan.
Perlahan labirin
itu mulai dapat kuurai.
Pertama, kenapa malam lebaran? Ya ini malam
lebaran Idul Adha. Bukan idul fitri, bukan pula hanya solat 2 rokaat, silaturrahmi,
maaf-maafan, sembelih hewan qurban, makan daging, atau nyekar ke kuburan. Tapi,
ingatkah kamu tentang sejarah antara Ibrahim dan Ismail?
Jauh-jauh
aku berfikir keras tentang bapak para nabi itu. Berjuang keras mengabdi pada
allah, dengan segala cobaan dan penuh ketaatan dia korbankan semua hal yang dia
miliki untuk Allah. Termasuk anaknya, Ismail. Buah hatinya, tak luput dari
pengorbanannya. Ya, aku yakin kamu semua ingat betul kisah yang jelas-jelas
diabadikan dalam Al-Quran surah Ash-Shaffat {37}:102 sebagaimana percakapan Ibrahim “Wahai anakku!
Sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah
apa pendapatmu?…“Ia (Ismail) menjawab, ‘Hai bapakku! Kerjakanlah apa yang
diperintahkan kepadamu, Insya Allah! Kamu mendapatiku termasuk orang-orang yang
sabar”.
Seolah-olah Emmakku menyuruhku
mengambil pelajaran dari kisah ini. Bahwa aku harus belajar ikhlas karena
Allah. Mengorbankan apapun di jalan Allah dengan ketaqwaan, termasuk
mengorbankan hatiku yang terlanjur memilihmu dulu, kemudian melepasmu dengan
ikhlas, dan mengajariku untuk menjadi orang yang sabar atas semua kejadian.
insyAllah…
Kedua, mengapa berupa selimut? Sambil cengengesan aku mengurainya. Selimut,
selimut, Selimut. Daripada aku jadi gila berpikir ini, lebih baik kugunakan teori
ngawurku untuk mendefisikannya.
Kamu tahu fungsi selimut kan? Atau kemul?
Ya fungsinya hampir sama dengan bir pada orang-orang Eropa pada musim dingin. Tak
lain, untuk menghangatkan badan, atau sebagai teman tidur yang setia menemani
rasa gigilmu karena dingin. Kurasa teori itu sangat ngawur sekali jika kubilang
Emmak sengaja memberiku selimut untuk menggantikan posisi “istri” yang
seharusnya menemaniku saat aku kedinginan. Tapi setidaknya itu yang terfikirkan
dibenakku. Dasar Cak Udin aneh, pasti kamu akan bergerutu demikian.. biarlah.
Aku teringat kata-kata Socrates
pada tahun 470-339 sebelum masehi. Filsuh Yunani itu dengan gamblang menyeru manusia
untuk menikah, “Dengan segala cara menikahlah. Jika mendapat istri yang baik,
anda akan menjadi bahagia. Jika mendapatkan istri yang buruk, Anda kaan menjadi
Filsuf”.
Jika teori keduaku benar, maka Socrates
harus merevisi perkataannya, bukan menikahlah, dan istri. Tapi belilah selimut.
Hahaaa, jadinya nanti seperti ini.
“Dengan segala cara belilah selimut.
Jika mendapat selimut yang baik, anda akan menjadi bahagia. Jika mendapatkan selimut
yang buruk, Anda kaan menjadi Filsuf”. Cak Udin.
Sudah cukup ketawanya,
Untuk pertanyaan ke-3 dan ke-4, aku
biarkan kamu bermain dengan imajinasimu sendiri. Jangan mau kalah dengan
kegilaanku ya mendefinisikan rahasia dari Emmakku. Aku percaya Emmak selalu
punya rahasia yang susah ditebak, hehe. Sudahlah ngantuk, besok pagi-pagi buta
kita harus pergi ke masjid atau lapangan untuk menunaikan ibadah sholat idul
Adha.
Selamat idul adha, semoga kita bisa
mengambil hikmah.
Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu
Akbar. Laa Ilaha Illallahu Allahuakbar, Allahu Akbar, Walillahilham.
Baledono, Purworejo
Salam hangat, 10 Dzulhijjah 1437.
0 komentar:
Posting Komentar