"Semua penulis akan mati. Hanya karyanyalah yang akan abadi. Maka tulislah sesuatu yang membahagiakan dirimu di akhirat nanti". (Ali bin Abi Thalib). Maka dari itu, melalui blog ini aku ingin mengabadikan hidupku, bahkan lebih dari nyawaku.
Diberdayakan oleh Blogger.
Latest Article Get our latest posts by subscribing this site

Edisi Mengejar Cinta

30 Desember 2017

Jumat sore ini aku berangkat dari Enggano ke Bengkulu dengan kapal perintis. Kapal KM.Sabuk Nusantara ini merupakan alat transportasi termurah yang pernah ada, menurutku. Bagaimana tidak, jarak Enggano-Bengkulu sekitar 90 mil/ 156 KM yang ditempuh perjalanan laut sekitar 12 jam minimal hanya cukup membayar Rp.14.000, penumpang mendapat fasilitas tempat tidur/ kabin yang cukup baik, meski hanya beralaskan karpet, AC yang tidak terlalu dingin. Kurasa dengan harga segitu sangat murah sekali, daripada naik Kapal Ferry ongkosnya Rp.102.000 untuk bisa tidur di tamtami, atau jika memlih menggunakan pesawat Susi Air kita harus mengeluarkan biaya Rp. 260.000 an.

Sebenarnya aku lebih memilih menggunakan pesawat, selain lebih cepat, juga ketakutan dan risiko berlayar di laut menjadi alasan bagiku. Namun apa daya, Kapal Perintis satu-satunya pilihan saat ini, Kapal Ferry tidak berlayar, dan pesawat sudah full seat. Sementara aku harus sudah tiba di Bengkulu maksimal hari minggu, mengingat aku ada agenda di hari Senin tanggal 25 Desember 2017.

Alhamdulillah, setelah melewati semalaman di lautan lepas samudera hindia. Sekitar pukul tujuh lebih beberapa menit di hari Sabtu kapal Perintis sudah merapat di pelabuhan perintis Pulau Baai Bengkulu. Aku dan dr.Andi dijemput Yuk Nita (isteri dr.Andi) dan Eyza (anak). Setelah istirahat dan mandi, aku diantar ke jalan Suprapto untuk membeli beberapa keperluan sambil menunggu jemputan travel. Rencananya, sabtu sore aku akan melakukan perjalanan menuju Palembang.

Malam masih gelap, udara di luar tak kalah dari sejuknya AC di mobil tadi. Kini aku sudah tiba di depan Masjid Darul Muttaqin kawasan Maskarebet Palembang. Setelah melalui perjalana  yang cukup membuat lidahku tak berhenti meminta untuk diberikan keselamatan, mengingat malam tadi hujan mengguyur sepanjang perjalanan kami. Sementara medan jalan yang dilalui jalur Bengkulu-Palembang via Curup sangat ekstream, jalan berkelak-kelok khas daerah Sumatera, kanan jurang dan tepi kiri tebing. Pemandangan cukup indah saat sore berada di puncak Curup.

Aku singgah di Masjid ini untuk sekedar menunggu mentari menyapaku pagi ini, waktu shubuh masih lumayan lama. Cukup buatku mandi, dan melaksanakan ibadah sunnah lainnya sambil menunggu adzan. Masya Allah, aku menemukan suasana yang langka kutemui di Enggano, di Masjid Darul Muttaqin ini anganku berputar seolah-olah aku sedang berada di Jogja. Tempat ini terasa nyaman bagiku, bangunan masjid yang terbilang cukup mewah, terdiri dari dua lantai. Jamaah laki-laki dan perempuan di lantai satu, pintu-pintu masjid selalu tertutup karena masjid ini ber-AC, kamar mandi dan tempat wudhu yang bersih dan cukup besar, di dukung dengan halaman parkir yang luas, ditambah ukiran kaligrafi yang bercat kuning emas terrukir indah di sekeliling masjid dan kubahnya dari dalam menambah kesan damai bagi setiap orang yang bersujud di dalamnya.

Tidak hanya itu, aku lebih berdecak kagum saat suara loudspeaker berbunyi. Khas seperti di Madura, kami biasa menyebutnya dengan mualik, suara murottal untuk membangunkan orang-orang untuk sholat lail dan bersiap-siap sebentar lagi adzan shubuh. Tak lama kemudian, jamaah masjid mulai banyak berdatangan, ya Allah aku senang sekali. Aku merasa bertemu dengan saudara sendiri, meskipun kami belum pernah kenal sebelumnya. Saudara seiman. Setelah sholat shubuh dilanjut dengan dzikir bersama, dan kemudain salam-salaman sesama jamaah dan imam suasana ini seperti masjid-masjid di Madura. Kulihat jamaah memenuhi shaf-shaf, tak kurang dari 4 shaf. Sangat berbeda dengan di Enggano batinku, di masjid jamaahnya paling hanya pak Imam dan isterinya yang istiqomah meramaikan masjid. Aku menemukan kedamaian disini, semoga nanti aku hidup di lingkungan seperti ini, semoga rumah kita dekat masjid. Amiiin.

Aku mencintai perjalanan. Bagiku, setiap perjalanan ada kisah dan pengalaman baru. Ada kawan baru, ada tanah baru tempat kening bersujud, ada masjid baru tempat diri menghamba. Semakin berjalan, semakin kita mengetahui bahwa bumi Allah ini luas dan maha Indah. Semakin kita sadar bahwa kita kecil semantara Tuhan maha besar.



Bubur ayam di suatu pagi.
Fajar menyapa pagiku di bumi Sriwijaya, sinarnya masih ragu dan malu-malu untuk menyinari bumi. Ia tak ingin terlalu menyengat tubuhku di kota ini, setelah dhuha aku bertemu dengannya. Perempuan asing yang kutemu 8 bulan yang lalu saat kami sama-sama sedang menempuh pendidikan di Pusdikkes TNI AD. Setelah berdiskusi cukup lama keputusannya adalah, dia mengantarku ke penginapan dan sebelumnya sarapan pagi dulu.

Ya Allah, ini adalah kali pertama setelah taman hatiku layu. Perempuan asing ini kembali menyiramnya dengan air suci yang tak kutahu darimana asalnya kecuali dari Allah yang maha Suci. Aku tahu di musim tak menentu ini, taman hatiku sedang kedatangan seseorang yang mampu merawat dan menyiraminya dengan telaten hingga bunga-bunga hati bermekaran dan semerbak. Aku tak berharap dia akan layu dan jatuh pada tanah kembali.

Kali pertama berboncengan satu motor denganmu, meski aku dan kamu sebenarnya masih malu-malu. Ini pertemuan kedua setelah 8 bulan yang lalu kami masih hanya saling kenal karena kebetulan kita satu kelas. Aku sangat hati-hati membawa motor beat berwarna putih pelipis hijau milikmu itu, bukan karena aku tak memakai helm, tapi karena aku belum memiliki SIM (surat izin menikah). Hehee…

Ah, perempuanku.. kamu tak akan tahu bagaimana perasaanku kala itu. Aku merasa membonceng Ibuku, harus hati-hati membawanya. Kami berkeliling komplek untuk mengenal jalan, takut nyasar nantinya. Sambil mencari warung makan yang buka, karena hari ini orang-orang sedang libur panjang.

Bubur ayam menjadi pilihanku, pilihanmu juga. Kita memesan dua mangkok bubur ayam dan minum air gelas, aku memalingkan wajahku ke keramaian lalu lintas karena aku takut kamu juga sadar jika aku lamat-lamat memperhatikanmu. Perempuan yang saat ini duduk di depanku, tawa kita pecah saat mata kita saling bertemu pandang.

Sebenarnya bubur ayam ini tak terlalu nyaman, entah karena belum terbiasa dengan lidahku. Namun karena aku makan bersamamu, satu mangkok kuhabiskan juga. Sambil sesekali kamu bercerita tentang masa kecilmu di daerah ini. Oh Tuhan, nasi sudah menjadi bubur. Cinta dan hatiku telah lebur bersama senyum indah perempuan di depanku ini. Himpun kami Tuhan.




Perjuangan keluarga Madura

Aku harus banyak-banyak bersyukur memiliki keluarga besar. Menjadi bagian dari keluarga H.Nabiel yang luar biasa. Kami memanggilnya Eppak (dalam Bahasa Madura artinya Bapak).  Kurasa aku mewarisi sifat berani dari Eppak, bahkan diusianya yang sudah menginjak 76 tahun ini Bapak masih nekat dalam banyak hal. Meski kadang kubilang sifatnya jatuh pada angkuh. Dia tak pernah berkompromi dengan kebathilan, tidak bisa bermuka dua, artinya jika sudah tidak suka sama satu hal maka akan nampak dari ekspresi dan hari-harinya.

Usianya memang tak muda lagi, namun nasihat dan ilmunya seperti tak habis-habis jika bertemu denganku. Ada saja yang ingin beliau bagi untuk anak bungsunya. Fisiknya sudah sakit-sakitan, kadang demam, nyeri lutut, kaku dan menggigil jika kemalaman dari sawah. Hal ini semakin membuatku takut jika Allah memanggilnya, aku masih sangat ingin bersamanya, mendengar nasihat dan belajar dari Eppak. Ya Allah, panjangkan usianya..

Keluargaku (Mas Har, mbak Dian, mbak Iis, Eppak, Emmak, Salmaan, dan Syamil akan berangakt dari Bandara Juanda Surabaya menuju Lampung tanggal 20 pukul 18:15. Bukan tanpa halangan, jarak Sumenep-Surabaya yang biasanya dapat ditempuh maksimal 5 jam tiba-tiba berubah, diluar perkiraan. Rombongan dari Saronggi berangkat pukul 10:00 pagi, bahkan sampai 17:00 belum sampai Bandara.

Group WA keluarga mendadak ramai, semua anggota keluarga berdoa semoga sampai Bandara tidak terlambat. Maklum kali ini musim liburan, suasana jalan kota Surabaya macet merayap. Aku ketar-ketir, sementara detak jam terus berputar. Detik berganti, menit berlalu, pukul 18 pun tiba, kabar terakhir rombongan masih sampai jalan tol, terjebak macet. Allahu Akbar, doa kamipun berganti. Semoga Lion Air yang akan ditumpangi delay, begitu harap kami.

Namun Allah berkehendak lain, mas Har sampai di Bandara dan pesawat sudah terbang 6 menit yang lalu katanya. Tidak ada kompensasi, tiket tidak bisa di refund. Kami sekeluarga pusing, aku pun juga. Takut rombongan gagal ke Lampung dan gagal ke Palembang. Akhirnya kami mencari jaddwal penerbangan untuk besok, Alhamdulillah dapat. Meskipun harganya tidak murah, setidaknya rombongan harus tetap berangkat karena besok acara pernikahan Elza (sepupu mbk Dian) dan tanggal 25 acara lamaranku.
Rombongan harus mencari hotel di dekat bandara agar besok tidak terlambat lagi. Dan Alhamdulillah Allah masih mengizinkan mas har dan bapak/Ibu sampai di Lampung dengan selamat. Untuk mengikuti acara pernikahan Elza.

Hari ahad, tanggal 24 rombongan dari Madura ditambah Pak Narjo dan Ibu (orang tua mbak Dian) dan mas Faizin (adiknya mbak Dian) pagi-pagi berangkat dari Lampung menuju Palembang dengan mobil Innova. Mas Faizin yang menyetir, dasar mas Har gak mau nyetir dengan alasan tidak tahu medan Sumatera katanya. Berbekal GPS Alhamdulillah setelah menempuh perjalanan 13 jam, rombongan langsung sampai di penginapan. Bertemu denganku.

Bahagianya begitu dalam. Perjungan yang besar berbuah hasil, untuk pertama kalinya aku bertemu Eppak dan Emmak di tempat selain Madura dan Jogja. Kali ini kami bertemu di Palembang. Si Salmaan, keponakan paling lengket denganku turun dari mobil langsung lompat dan minta gendong. Ah, bahagianya.

Jadwal Bapak begitu padat, selesai check in dan mandi. Kami jalan-jalan, ingin melihat jembatan ampera, kata mas Har penuh semangat. Namun Bapak dan Ibu tidak ikut, beliau istirahat di hotel.

Shubuh kami bangun, kulihat mbak Iis sudah sibuk membuka barang bawaan untuk dibawa ke rumahmu (calon tunanganku). Mirip hantaran, meskipun sangat sederhana. Hanya beberapa kotak kue, dan dua paket berisi gamis, dan alat make up seadanya. Terus Ibuku mengeluarkan cincin emas sambil berbisik “ini sebenarnya bukan cincin yang untuk tunanganmu, cincin yang kamu beli ketinggalan di Madura” kata Ibu. Ya Allah, aku tertawa, hal ini mirip cerita di film-film drama. Bahkan semapt terlintas dipikiranku, kalaupun Mbak Ratniya tidak membelikan cincin ganti saat di Surabaya, mungkin cincin yang terbuat dari kulit penyu ini yang aku jadiakan cincin tunangan. Hehee…

Ada yang kurang kata mbak Iis, kita tambah hiasannya dnegan pita, dan parcel buah. Akhirnya aku dan Mbak iis mencari tambahan itu, berkeliling seputar komplek. Merayu Ibu-ibu di pasar yang semula hanya menjual buah saja untuk bisa dijadikan parcel, dihias dipercantik dibantu mbak iis. Ya Allah, lucu sekali jika kuingat waktu itu.
Kekasihku, jika kau baca catatanku ini. Semoga ini menjadi saksi perjuangan menggapai cinta. Sekaligus alasan mengapa engkau layak kuperjuangankan, karena yang istimewa yang berhak diperjuangkan. Hee.

Teruntuk keluargaku, terimakasih sudah mengantarkan kebahagiaanku sejauh ini. Eppak dan Emmak, mator sakalangkong. Perjalanan Sumenep-Surabaya, Surabaya-Lampung, Lampung-Palembang bukan jarak yang dekat, aku tahu engkau lelah, semoga lelahmu menjadi amal sholeh bagimu Eppak Emmak, tanpamu aku bukan apa-apa. Untuk mas Har, mbk Dian, dan Mbak Iis dan kakak-kakakku lainnya, terimakasih semua bantuan pikiran, tenaga, dan materi. Bukan nominal sedikit mengantar Eppak Emmak sampai di tanah Palembang, terimakasih dari adik bungsu. Buat mas Fazrin, Pak Narjo dan Ibu Lampung, terimakasih sekali sudah mengantar kami sampai Palembang, sudah menjadi juru bicara keluarga kami, dan sudah meminjamkan mobilnya, terimakasih tiada terkira.


Akhirnya.
Akhirnya hari ini terjadi juga. Hari tanggal 25 Desember 2017, hari yang bagi umat Kristiani merupakan hari rayanya. Hari yang menyenangkan bagi mereka. Pun bagiku.

Akhirnya hari adalah hari yang aku nanti setelah sebelumnya 3 September lalu aku memberanikan diri silaturahmi dan berkenalan dengan orang tuamu, di Palembang. Dan saat itu aku mengutarakan niat baikku untuk mengenalmu lebih dekat, dan berniat untuk membangun hubungan yang lebih serius, denganmu. Perempuan asing yang baru kukenal tidak genap setengah tahun.


Hari ini adalah pembuktianku padamu, dan pada keluargamu. Bahwa aku, laki-laki kurus yang kau sebut unyu itu juga ingin mengenalkan dirimu pada keluarganya. Mengenalkan keluargaku pada keluargamu, hingga keluarga kita berdua menjadi satu keluarga besar. Laki-laki dari ujung pulau Madura yang kau temui di Pusdikkes itu menepatai janjinya.

Hari ini dia datang bersama kelurganya kerumahmu, menyampaikan niat ikhlasnya untuk memilihmu menjadi kekasih hatinya. Memilihmu menjadi bagian dari kisah-kisah hidupnya setelah ini. Akhirnya, hari ini datang juga.

Kekasihku, ini bukan akhir. Ini baru permulaan, ini babak baru dalam hubungan kita. Batu pertama yang kita pijak bersama, kita berharap pijakan awal ini merupakan batu yang kokoh. Masih ada batu-batu selanjutnya yang kana kita pijak bersama. Dan kita nantikan kehadirannya, muara semua kasih dan sayang yang diridhoi Tuhan. Pernikahan.



Duhai perempuan asing yang kupinang engkau dengan lafaldz “Bismillahirrohmanirrohim”. Dengan penanda cincin emas yang dihadiahkan mbak Ratniya, karena cincin yang kubeli ketinggalan di Madura. Kenapa berupa cincin kekasihku, cincin itu bentuknya bulat. Mengikat indah di jari tengahmu, tiada ujung. Aku berharap demikian, hubungan kita tiada ujung seperti bentuk cincin, berkilau seperti warna kuningnya, dan istimewa seperti logam emas. Kurasa filosofinya demikian. Maaf, kekasihmu ini sok filsuf.

Dan, Akhirnya aku harus upload kisah ini. Sebagai jawaban atas kisah sebelumnya "Kado Istimewa di Malam Lebaran" yang sempat kau baca. 

Dopo Enggano, 4 Januari 2017




Kado Istimewa di Malam Lebaran



Sore ini masih seperti biasa, aku mulai terbiasa di ruang pengasingan ini. Di kamar berukuran 3x3 dengan kasur, bantal, almari, dan kipas angin yang baru kubeli beberapa waktu yang lalu untuk menantang udara panas di kota Purworejo. Ya, aku sengaja membiarkan kipas angin terus berputar untuk melawan pengapnya udara di kamar ini.  Sementara aku mematung menatap langit-langit kamar yang tercetak tidak terlalu rata, sesekali mengambil smartphone melihat apakah ada pesan atau tidak.

Hari ini aku menunggu orang terpenting dalam hidupku, teramat penting. Siapa lagi? Kuyakin kau dapat menebaknya dengan nilai 100. Bagus….

Dia adalah Ibu dan Bapakku. Iya; mereka, kakakku, kakak iparku dan keponakanku tersayang yang bertolak dari Madura menuju Jogja kemudian melanjutkan ke Purworejo. Kota kecil disebelah barat DIY.

Lamunanku buyar, ketika smartphoneku bordering pertanda ada panggilan masuk. Dari balik handphoneku terdengar suara kakakku dengan jelas memintaku untuk menjemput mereka karena sudah sampai di masjid agung Purworejo. Alhamdulillah, batinku. Dengan motor plat AB aku langsung menuju masjid agung dan bertemu mereka. Orang-orang terkasih dalam hidupku.. ahhhhh,.. peluk erat Emmak, Eppak rasanya tak ingin kulepas segera. Aku masih ingin memeluk tubuh ringkihnya, dan mencium pipinya yang keriput dengan semua rasa kasih sayang yang kupunya.

Setelah melaksanakan sholat ashar, kakakku meminta aku menunjukkan Rumah Sakit tempat aku bekerja. Ya, dengan bangga aku menujukkan mereka Rumah Sakit Budi Sehat dimana aku bekerja sejak 1 september kemarin. Kemudian aku membawa mereka singgah di kamar kosanku.

Semula biasa saja, basa-basi pun keluar. Sesekali menanyakan kabar orang-orang di Rumah (Madura), sambil aku menggendong keponakan ternakalku (Salmaan Al Faatih), dan melayani rengekan keponakanku lainnya Kholid, Royyan, dan Khansa. Eppak mulai ambil bicara. Sssst..!!

Intinya mereka cukup senang, karena aku sudah bekerja, bahkan sebelum prosesi sumpah apoteker kulafalkan. Tapi bukan itu yang ingin kuceritakan saat ini. Bukan soal kebanggaan orang tuaku, biar episode ini akan kusimpan sendiri.

***

Sambil kakakku nyeletuk soal “gaji dan nikah”, Eppak semakin bersemangat untuk menasihati anak bungsunya ini. Ah aku mulai gelisah, pasti bahas soal pertunangan kemarin. batinku.

Mendadak kamar kosku hening.

Lebih hening dari kondisi ujian sekolah. “sekarang, aku tak mau menunjukkanmu pada perempuan ini atau itu. Terserah kamu sekarang mau cari sendiri atau bagaimana, yang penting kalau sudah mantap dalam sholat malammu. Berikan nama itu pada Eppak, biar nanti coba Eppak pelajari dan diskusikan dengan Allah” katanya dalam bahasa Madura. “Maafkan Eppak, Emmak dan Masmu, atas kejadian kemarin. Kita niatnya baik, supaya kamu dapat isteri yang sholihah yang jelas. Yang gak jauh-jauh dari rumah, dan kita juga masih kasihan sama adikmu itu. Niatnya sih agar gak kemana-mana, biar jadi satu keluarga begitu. Tapi ya kalau dia sudah tidak mau dikasihani? Mau gimana lagi?” Tambahnya.

Suasana semakin hening, hanya terdengar kecikikan kecil masku yang meledekiku. Tanganku dingin, menyimak dengan seksama setiap kata yang keluar dari bibir Eppak, sambil kuremas tangan Salman buat pelampiasan batinku yang mulai membuncah.
Kemudian Eppak melanjutkannya, “Kalo sekarang, siapapun pilihan kamu, saya ngikut. Keujung duniapun kalo itu jodohmu, insyaAllah Eppak dukung”. Aku mulai menjawab: “Jauh gak apa-apa Pak?” tanyaku dengan nada takut.

Bukannya Eppak yang menjawab, kali ini justru masku yang nyerobot dengan nada satir “ya, terserah yang penting dipikirkan biaya sana-sininya” celetuknya. Emmak menambahi dengan nada tidak setuju “janganlah, kalo ada yang dekat, yang masih bisa dijangkau.  Emmak, Eppak sudah tua, kalau ada apa-apa biar cepat datang”.

Aku bagai di persimpangan. Tapi sudahlah, aku tak mau memikirkan itu dulu. Biarkan “kamu” menjadi rahasia antara aku dan Tuhanku. Belum waktunya kuceritakan pada Eppak Emmak, apalagi masku. Huuh….

Hadiah Istimewa
Sambil mengorek-ngorek tas berwarna biru, Emmak nampak sibuk mengeluarkan sesuatu dari tas yang sejak tadi dipangkunya. “ini Emmak bawakan kamu selimut, dipakai ya…” katanya sambil menyerahkan kain berenda merah bercorak hitam disamping-sampingnya.
Awalnya kutolak pemberiannya, “aku dah punya selimut Mak, lagian disini panas” kataku dengan nada ringan. Tapi lagi-lagi masku nyeletuk dari atas ranjang “ambil saja, itu niatnya dikasih ke Shofi. hehe” ejeknya. Dengan jelas masku menyebut nama mantan tunanganku itu.

Allah….

Kemudian ibuku menarik tanganku seraya meletakkan selimut itu diatas tanganku dengan lembut dia berkata “sudah, disimpan saja. Barangkali bermanfaat”. Tanpa pikir panjang langsung kumasukkan selimut tebal itu kedalam lemari dan menguncinya.

Kami keluar kamar, sambil kuantar keluargaku naik keatas mobil untuk pulang lagi ke Jogja. Aku menatap lamat-lamat kening Emmak, seolah dia berkata. Hati-hati nak…

Tangisku kuat kusembunyikan di wajah, namun dia menetes di dasar hati kemudian basah.
Aku melihat ke langit, senja sudah mulai tenggelam bersama dengan punggung Emmak yang naik terakhir keatas mobil kemudian hilang dari pandangan saat ditikungan.

Dari pengeras suara mushollah di belakang kos kudengar, asma Allah dikumandangkan. Allahu akbar allahu akbar. Pertanda pemilik jiwa sejati sudah memanggil. Alhamdulillah, selamat berbuka puasa, batinku.

Sehabis melahap makanan yang dibawa oleh Emmak dari Jogja, sholat, mengaji, dan sholat isyak di mushollah. Aku kembali ke kamar hatiku.

Rahasia
Takbir berkumandang dari TOA samping kanan dan kiri kamar, menyeruak masuk lewat fentilasi dan jendela kamar yang sengaja kubuka. Memanggil, dan mengeja menyerukan Asma Allah yang maha suci. Aku membuka lemari dan mengambil selimut pemberian Emmakku tadi. Keningku berkerut, tanda tak mengerti.

Aku cium kain tebal itu dengan khusyuk. Aroma wanginya melekat di hidung pesekku. Kemudian aku jatuh diatas kasur lebarku. Sambil terus berpikir, entah apa yang aku pikirkan.

Anganku berputar, kubiarkan sel-sel otakku bekerja mendefiniskan apa yang aku fikirkan. Kutunggu NT mentransformasikan dan mengubahnya menjadi bentuk reaksi. Akhirnya, senyumku tak dapat kusembunyikan lagi. Ternyata aku bahagia, kata otakku berbisik.

Sangat jarang Emmakku memberiku hadiah. Terakhir kapan ya? Ah, lupa. Saking lamanya, hee.

Biasanya disetiap malam lebaran waktu aku SD-SMP emmak selalu memberiku hadiah sarung dan peci untuk kugunakan besok pagi ke masjid untuk sholat Ied. Itu adalah hadiah rutin karena aku tuntas puasa Ramadhan, katanya. Setelah SMA biasanya aku hanya diberikan uang untuk membelinya sendiri.

Kali ini? Bibirku mengembang, aku tersenyum lagi. Di usiaku yang 23 ini, Emmak kembali memberiku hadiah yang sepesial. Yang berbeda dari peci dan sarung. Di malam Lebaran Idul Adha ini,  Aku serasa kembali pada masa kecilku. Ah, coba deh kamu bayangin. Hadiah ini dibawanya langsung dari jarak yang lebih dari 608,9 Km via darat., bukan jarak yang dekat bukan? Kemudian diaserahkan langsung padaku dengan tangan lembutnya. Ya padaku. Anak terakhirnya yang paling ganteng. Hahaaa..

Bahagianya, ini namanya kebahagian yang sesungguhnya.

Aku yakin kamu dapat merasakan ruh kebahagiaanku. Ya Allah….

Tapi, ini belum selesai. Lagi-lagi yang namanya istimewa itu biasanya tidak mudah ditebak. Pasti ada hal lain yang belum berhasil kutebak.

Mengapa malam lebaran? Mengapa hadiah itu berupa selimut? Mengapa berwarna merah? Betulkah celoteh masku tadi kalo selimut ini sebenarnya untuk “dia”? wah, jika ia. Ini adalah teka-teki yang panjang.

*
Jiwa filsafatku mulai bangkit… memerhatikan, meneliti, dan mencoba menafsirkan.
Perlahan labirin itu mulai dapat kuurai.

Pertama, kenapa malam lebaran? Ya ini malam lebaran Idul Adha. Bukan idul fitri, bukan pula hanya solat 2 rokaat, silaturrahmi, maaf-maafan, sembelih hewan qurban, makan daging, atau nyekar ke kuburan. Tapi, ingatkah kamu tentang sejarah antara Ibrahim dan Ismail?

Jauh-jauh aku berfikir keras tentang bapak para nabi itu. Berjuang keras mengabdi pada allah, dengan segala cobaan dan penuh ketaatan dia korbankan semua hal yang dia miliki untuk Allah. Termasuk anaknya, Ismail. Buah hatinya, tak luput dari pengorbanannya. Ya, aku yakin kamu semua ingat betul kisah yang jelas-jelas diabadikan dalam Al-Quran surah Ash-Shaffat {37}:102  sebagaimana percakapan Ibrahim “Wahai anakku! Sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu?…“Ia (Ismail) menjawab, ‘Hai bapakku! Kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, Insya Allah! Kamu mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”.

Seolah-olah Emmakku menyuruhku mengambil pelajaran dari kisah ini. Bahwa aku harus belajar ikhlas karena Allah. Mengorbankan apapun di jalan Allah dengan ketaqwaan, termasuk mengorbankan hatiku yang terlanjur memilihmu dulu, kemudian melepasmu dengan ikhlas, dan mengajariku untuk menjadi orang yang sabar atas semua kejadian. insyAllah…

Kedua, mengapa berupa selimut? Sambil cengengesan aku mengurainya. Selimut, selimut, Selimut. Daripada aku jadi gila berpikir ini, lebih baik kugunakan teori ngawurku untuk mendefisikannya.

Kamu tahu fungsi selimut kan? Atau kemul? Ya fungsinya hampir sama dengan bir pada orang-orang Eropa pada musim dingin. Tak lain, untuk menghangatkan badan, atau sebagai teman tidur yang setia menemani rasa gigilmu karena dingin. Kurasa teori itu sangat ngawur sekali jika kubilang Emmak sengaja memberiku selimut untuk menggantikan posisi “istri” yang seharusnya menemaniku saat aku kedinginan. Tapi setidaknya itu yang terfikirkan dibenakku. Dasar Cak Udin aneh, pasti kamu akan bergerutu demikian.. biarlah.

Aku teringat kata-kata Socrates pada tahun 470-339 sebelum masehi. Filsuh Yunani itu dengan gamblang menyeru manusia untuk menikah, “Dengan segala cara menikahlah. Jika mendapat istri yang baik, anda akan menjadi bahagia. Jika mendapatkan istri yang buruk, Anda kaan menjadi Filsuf”.

Jika teori keduaku benar, maka Socrates harus merevisi perkataannya, bukan menikahlah, dan istri. Tapi belilah selimut. Hahaaa, jadinya nanti seperti ini.
“Dengan segala cara belilah selimut. Jika mendapat selimut yang baik, anda akan menjadi bahagia. Jika mendapatkan selimut yang buruk, Anda kaan menjadi Filsuf”. Cak Udin.

Sudah cukup ketawanya,

Untuk pertanyaan ke-3 dan ke-4, aku biarkan kamu bermain dengan imajinasimu sendiri. Jangan mau kalah dengan kegilaanku ya mendefinisikan rahasia dari Emmakku. Aku percaya Emmak selalu punya rahasia yang susah ditebak, hehe. Sudahlah ngantuk, besok pagi-pagi buta kita harus pergi ke masjid atau lapangan untuk menunaikan ibadah sholat idul Adha.

Selamat idul adha, semoga kita bisa mengambil hikmah.
Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar. Laa Ilaha Illallahu Allahuakbar, Allahu Akbar, Walillahilham.


Baledono, Purworejo
Salam hangat, 10 Dzulhijjah 1437.

My Photo Galery

Translate

 
Support : Your Link | Your Link | Your Link
Copyright © 2013. Sejernih Sungai Cinta - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger