Sabtu, 19 januari 2013. Sekitar sore hari aku
diskusi bersama mas Alfi dan keponakanku Ahmad Suriyadi Muslim, tiba-tiba
ponselku bergetar, tanda ada sms masuk. Syurrr…. Pelukanku pada yadi, karena
kabar di sms itu cukup membuatku menarik senyumku lebih lebar lagi. Urutan ke-3
bidang esai tidak bisa hadir, dan aku urutan ke-4 jadi aku harus menyiapkan
presentasi untuk final di Jakarta. Tidak tahu harus berbuat apa, mas Alfi
langsung menyodorkanku berlipat-lipat kumpulan artikel lusuh tentang gerakan
perjuangan mahasiswa setelah dia menyatakan bahwa naskahku tidak kuat. Oke,
yang penting berangkat dulu, soal materi nanti dipikir selanjutnya. Bismillah.
Di stasiun Tugu Yogyakarta, langit masih
menawan dengan rona megah surya yang hampir tenggelam menuju peraduannya.
Pengunjung begitu sibuk dengan aktifitasnya, begitupun aku, menunggu mas wira yang
salah jalan karena kebablasan menuju jalan malioboro, sedangkan kereta akan
berangkat tak kurang dari 7 menit lagi. Perjuangan memang di uji ketika kita
hendak menaklukkan kemenangan. Ini memang nyata, temanku berlarian dari
jl.malioboro entah berapa kecepatan yang dia lalui per detik, yang jelas
kulihat jelas rauh muka dan nafasnya terengah.
Allah begitu hebat memberikan rahasianya pada
kami, kami masuk stasiun sebelum sesaat kemudian kereta senja utama yogya
menampakkan deretan gerbong-gerbong berwarna putih. Kami duduk di gerbong 1/ 4C
dan 4D, setelah sebelumnya salah masuk gerbong 4. Maklum, saya baru pertama
kali ini naik kereta. Hehe, karena di Madura sudah tidak ada kereta lagi,
kecuali di stapsiun Pamekasan yang hanya tinggal miniaturnya saja.
Pagi ini benar-benar nyata, bukan mimpiku di
kereta, bukan pula mimpiku di jogja. Shubuh ini aku nyata di jakarta, sementara
riuh rikuh suasa stasiun berpacu dengan lantunan adzan di luar sana, tidak
begitu jelas. Kulantunakan langkah kaki ini menuju setiap lorong sttasiun
mencari pintu keluar, sambil mencari mesjid, sesekali kulihat ada jas kuning
yang kuharapka itu adalah panitia yang menjamput kami. Tetapi bukan.
Jalanan di sekitar stasiun masih sepi, tetapu
emperan mesjid nampak penuh dengan orang-orang yang berdandan entah sedang apa
yang tak kutahu mereka mau sholat atau hanya bersingggah. Kunikmati setiap ayat
yang imam bacakan, ini dunia Allah. Begitu menggelitik ketika seorang penjaga
toilet mesjid kemudian menyuruh kami keluar karena masjid mau ditutup. Hingga
mengantarkanku ke depan taman gelora kemudian bertemu dengan rombongan lain
dari semarang, dan pastinya menunggu bareng panitia yang akan menjemput kami pukul
sembilan nanti, itupun kalau tidak macet. Jakarta.
Beberapa jam kemudian tak tepat pukul 09.00
kami sempat usilin panitia berjaket kuning itu, hingga akhirnya kami berangakat
dengan bis kuning UI menuju Pusgiwa UI. Sepanjang perjalanan, mataku tak henti-hentinya
memandangai setiap jengkal apa yang bisa kulihat, gedung-gedung, kendaraan,
jalan yang meliuk-liuk, dan beberapa hal lain yang menurutku cukup eksotis.
Bikun melaju dengan lumayan kencang, teman-teman se bispun mulai akrab dengan
lelucon kecil cukup mencairkan suasana. Kali ini aku benar sedang memasuki UI
tanpa kata islam ditangahnya, kusimpulkan dengan cepat, UI lebih besar dari UII
bahkan dari kampus sebelah UII. Hal ini membuatku semakin tak karuan,.
Entahlah.
Hari pertama di Jakarta cukup membuatku kagum
dengan kampus kuning ini, dengan mesjidnya yang menawan dikelilingi danau yang
indah dan bangungan-bangunnan besar nampun nampak indah, apalagi perpustakaan
yang baru kutahu bentuknya menyerupai bukit tinkiwinky, menurutku. Setelah
kemudian perjalanan selanjutnya ke penginapan Graha Insan Cita daerah mana aku
gak tahu, katanya sih dekat, tapi…. Butuh waktu yang lama, karena benar. MACET…
***
(wait for part 2...)
0 komentar:
Posting Komentar