
Bikun masih setia menemani kami dari GSP ke
ruang sidang UI. Seperti biasanya, acara dimulai dengan pembukaan,
sambutan-sambutan dan penampilan tari betawi oleh mahasiswai UI, sedikit
berbeda dengan pelaksanaan acara-acara di kampusku. Tidak ada pembacaan qalam
ilahi, maklum ini bukan kampus islam, tetapi ini kampus indonesia, yang
mayoritas beragama islam tetapi?.. entahlah.
Mulai acara pembukaan, nampak dua orang MC yang
menurutku jauh dari kapasitas MC yang yang baik, apalagi untuk kampus setaraf
UI. Begitu tidak siapnya pembawa acara, ditambah pembaannya yang sungguh tidak
meraik, membuatku dan mungkin sebagaian besar peserta diruangan yang megah itu
nampak kecewa. Acara berikutnya yaitu seminar, sebagai keynote speaker Dr.
H. Muhammad Hidayat Nur Wahid, M.A tak banyak hal yang kucatat dari penjelasan
beliau, yang kutahu beliau sangat gagah, lebih dari apa yang selama ini kulihat
di televisi. Sementara aku sibuk menyiapkan diri untuk prentasi siang nanti.
Dilanjutnkan dengan talkshow oleh Masnur
Marzuki, S.H. LLM. Dari foto yang ditunjukkan panitia, kiranya aku kenal
pakaian wisuda yang digunakan pamateri ini. Benar, masnur alumni UII. Hal ini
cukup membuatku bangga, mungkin kamu tidak percaa, ditengah kerumunan orang
banyak bertakbir “Allahu Akbar”, tapi memang itulah yang kuucapkan ketika
beliau memperkenalkan diri. Begitu menawannya seorang Masnur dapat
mengondisikan para peserta yang begitu antusias dengan kritikan dan
pertanyaannya, hingga wajah cantik seorang moderator hanya tinggal kecantikan
yang duduk manis di shofa pemateri, karena Masnur sendiri yang mempersilahkan
semua peserta bersuara. Begitu riuh, dari sini sudah nampak kegetiranku,
pertanyaan-pertanyaan kecil singgah dipikiranku ini “akankah nanati ketika aku
presentasi, mereka seramai ini” dag-dig-dug…. Tetapi tidak sampai door.
Sejenak kemudian, muncul pembicara ke-3, aku
lupa namanya. Yang kuingat, mbak ini adalah salah satu perumus UU KM UI, dia
orang hebat pikirku. Tetapi kekecewaan dan kekesalanku pada panitia semakin
menjadi-jadi, bagaimana pembicara sehebat ini kok disuruh ngisi materi tata
cara sidang? Padahal para peserta adalah perwakilan DPM se-Indonesia, tentunya
sudah mengerti tentang hal tersebut. Benar dugaanku, baru selang beberapa menit
pemateri memulai, peserta langsung menghentikannya dengan alasan buang-buang
waktu lah, kam sudah sering rapatlah, intinya materi ini tidak berbobot bagi
mereka. Tetapi satu hal yang aku sayangkan, kok cara menyampaikan pendapat
seoang DPM sangat bobrok seperti itu? Emosiku dan emosi teman-teman yang
kasihan melihat pemateri dipermalukan seperti ini terbakar, sangat lucu. Aku
tak bisa menggambarkannya, coba kamu bayangkan, dalam ruangan itu ada
sekelompok orang yang membela pemateri untuk meneruskan materinya sampai
selesai, ada sekelompok orang kebanyakan yang dengan keras menolak bahkan ingin
mengganti acara dengan nada keras dan ribut. Bahkan seorang moderator yang
sekaligus ketua DPM UI tidak berdaya menghadapi kondisi ini, sementara panitia?
Aku tak tahu kenapa kok bisa menyuguhkan acara seperti ini. Aku semakin
membara, sampai-sampai dalam komentarku aku mengkritik mereka dan
mempersilahkan mereka untuk mengikuti presentasiku nanti, seolah-olah
meyakinkan mereka aku akan manyampaikannya dengan baik. Disisi lain aku
ketakukan bagaimana jadinya nanti.. bismillah, mas Wira meyakinkanku.
Setelah sholat dzuhur, aku menyempatkan untuk
berlatih sejenak di basement. Sebenarnya bukan materi yang aku siapkan, tetapi
mentalku. Aku ingat perkataan mas Alfi ketika mau presentasi d UNYSEF
“bayangkan orang-tuamu ada diantara audience, dan mereka bangga kepadamu.” Hal
ini meyakinkanku untuk bisa tampil memukau dihadapan orang-orang aneh berlabel
DPM ini, bukan soal menang atau kalah,
buakan soal juara atau tidak sekarang. Tetapi bagaimana aku bisa menyampaikan
pesan yang aku bawakan dengan baik dan dapat mereka fahami. Hanya itu, karena
memang kali ini beban juara sudah tidak ada di benakku, tak tahu.
Pertama Dian handayani tampil dengan begitu
gugup hingga aku merasakan kegugupannya itu, banyak materi yang menurutku belum
dia sampaikan. Kemudian Jodi, si jaket kuning tampil lebih memukau dari Novi
tetapi essai yang dia sampaikan menurutku terlalu sempit, dia menggambarkan
mahasiswa Indonesia hanya sebagai cerminannya kampusnya sendiri. Ditambah slide
ppt yang begitu tidak menariknya, menurutku, menurutmu juga mungkin. Tetapi dia
bagus, hebat. Kini giliranku tampil, setelah bersalaman dengan mas wira, bang
Anam Khan, aku maju kepanggung dengan langkah semangat. Tak banyak yang bisa
kusampaikan, yang kutahu muka para audoence nampak menyimak dengan seksama,
juri tersenyum-senyum, sebagaian
mengikuti puisi yang kubacakan, semakin
juga geram atas kritik yang aku lontarkan, namun sebagian setuju dengan pesan
ayng aku bawakan ini. Alhamdulillah, menurutku aku sukses membawakan ini.
Pertanyaan dewan juri, kritikan, masukan, saran
membuatku cukup berkeringat diruangan sebesar ini. Ditambah riuhnya para
peserta yang mengkritik kami (para presenator) ada juga yang kagum, ada juga
yang mengatakan kami tak pantas masuk final. Yang pasti, semua kritik itu
membangun, heboh. Dimana aku mengkritiki DPM Indonesia yang menurutku sedang
tertidur nyenyak, ditambah si Novi yang mengatakan DPM adalah ilusi dibalik
bayang eksekutif, dan Jodi yang bilang DPM miskin fungsi. Kami bertiga harus
menyampaikannya kepada perwakilan DPm se-indonesia dalam naungan FLM2MI di
hadapan kami ini.

Acara selanjutnya, jamuan makan malam bersama
walikota Depok. One day no rice, pak walikota begitu hafal menyampaikan program
kerjanya tersebut. Tidak salah jika bang Anam Khan perwakilan dari UNISMA
bilang kalo pak walikota lucu, dan dengan khas Maduranya bang Anam berkomentar
yang tak kalah lucunya juga.
Malam sekaligus hari ini begitu melelahkan. Pun
begitu sangat mengesankan, bertemu orang-orang hebat, sekaligus berusaha
memahami watak dan karakternya masing-masing. tidak mudah menjadi pemimpin,
pemimpin itu bukan stock, tetapi pemimpin adalah proses. Siapa yang
tidak tahan dengan proses, ia gagal menjadi pemimpin.
***
0 komentar:
Posting Komentar