Surat
ini hanyalah bentuk kekecewaanku mak. Kebuntuanku berfikir, sehingga aku harus
lari pada laptop kemudian menatap layarnya dan mulai kuikuti jari-jari ini
mengetik benjolan-benjolan keyboard. Aku disini seperti bayi yang baru lahir ke
dua entah sebagai anak siapa. Aku merindukanmu mak, menginginkanmu ada di sampingku.
Aku
bisa saja menelponmu mak, bercerita
panjang lebar kemudian menangis jika itu kuanggap perlu. Tetapi bagiku itu
tidak mampu mengobati rasa rinduku itu, karena rinduku bukan rindu kepadamu.
Bukan rindu kepada jasadmu, tetapi lebih dari itu mak. Ini yang menulis adalah hatiku, bukan bibirku. Maka
kerinduanku adalah kerinduaan bayi tadi kepada hati ibunya.
Mari
kita berdialog dalam sepi, mak. Mak
aku teringat tiga tahun yang lalu, sebelum aku duduk di bangku kuliah. Setiap
malam engkau yang mengantarkau ke kamar mandi untuk berwudu, kemudian bersimbah
kepada Tuhan kita. Engkau juga yang mencegahku untuk menangis terisak-isak
ketika air mataku mulai bercucuran diatas sajadah kumal itu. Karena engkau
yakin, Tuhan akan mengabulkan doaku.
Tetapi
itu dulu mak, tiga tahun yang lalu.
Sebelum aku pergi merantau meninggalkan tanah Madura yang tandus tempatmu
melahirkanku. Aku sempat berjanji dalam batinku ketika pelukan mesrahmu di
depan rumah sembari melepas kepergiaanku ke Jogja. Tahukah emak, apa janjiku? Aku akan segera pulang dengan membanggakanmu.
Namun
jika engkau tahu apa yang kukerjakan disini mak?
Mungkin engkau akan kecewa. Kecewa melihatku tidak seperti dulu, UII kampus
tempatku belajar ini rupanya tidak menjamin aku menjadi orang baik. Aku merasa
sangat jauh dari Allah mak, seolah-olah
aku merasa sangat sibuk dengan kegiatan kampus yang mengekangku untuk
kelelelahan kemudian tertidur. Sehingga aku lupa mengerjakan ibadah sunnah
seperti yang engkau contohkan kepadaku disetiap tengah petang.
Emak, jangan
bilang eppak ya mak jika aku menulis surat ini untukmu. Aku takut eppak tambah sakit mendengar anaknya
menjadi begini. Bisa kubayangkan bagaimana kekecewaannya jika melihatku tak
lagi dekat dengan Allah. Padahal begitu jelas di mataku ketika emak dan eppak selalu mendahuluiku mengadukan dahinya di atas sajadah untuk
memohonkan kesuksesanku. Tetapi apa yang kubalas untuk kalian?
Oh
Emmak,aku malu pada Allah. Aku takut
Allah murka kepadaku, karena aku menyakitimu. Karena aku tahu ridhomu adalah
ridho Allah juga.
Aku
menangis mak, ketika aku mendengar
kembali kisah Salman al Farizi. Dengan perjuangan untuk mengabulkan permintaan
ibunya menunaikan ibadah haji. Padahal untuk berjalan saja, ibunya tidak mampu.
Salman rela menggendong ibunya itu melewati panas dan dinginnya gurun pasir, bahkan
kulitnya sampai terkelupas karena saking jauhnya perjalanan ke Mekkah. Hanya untuk
mengabulkan permintaan ibunya itu. Hal itulah yang membuat Allah juga
menyayangi Salman.
Hmm…
Padahal aku juga tahu mak, perjuangan Salman tadi itu tidak ada apa-apanya
diabandingkan dengan perjuangan ibunya. Tetapi kemudian aku mulai melihat
diriku mak, aku tidak pernah
menggendongmu sampai ke Mekkah. Atau mungkin melakukan pengorbanan-pengorbanan
lainnya yang dapat menyenangkan hatimu. Hampir tidak pernah kan mak?..
Aku
malu kepadamu mak. Aku ini anak tidak
tahu balas budi. Padahal engkau tidak meminta apa-apa, termasuk untuk
menggendongmu. Engkau hanya ingin melihatku belajar sungguh-sunggu di Jogja,
beribadah dengan taat kepada Allah. Perkerjaan yang sejatinya untuk kebutuhanku
sendiri itu saja aku ogah-ogahan melakukannya mak.
Jika
engkau disini mak, mungkin engkau
akan menggeleng-gelengkan kepalamu. Melihatku memilih lebih sibuk dengan
duniaku sendiri. Hanya ketika aku gagal aku mulai mendekat kepada Allah, oh mak aku benar-benar tidak tahu malu.
Jika
aku mendapatkan kebahagiaan? Jarakku kembali renggang dari Allah.
Aku
menginginkanmu disini mak, disampingku.
Aku ingin engkau kembali menjewer telingaku ketika aku nakal.
Mak, aku
takut Allah memisahkan kita jika kita telah meninggal nanti. Aku takut engkau
tenggelam dalam neraka akibat perbuatanku, perbuatan anakmu yang tidak tahu
diri ini. Padahal aku yakin, setiap ibu dimuka bumi ini berharap anak-anaknya
dapat mendoakannya, sehingga dapat mengangkat derajatnya di hadapan Allah kelak.
Oh
emak, aku tidak bisa terus-terusan
begini. Aku ingin selalu ada didekatmu, ada dipangkuhan kasih sayangmu. Sampai
kita bertemu Allah nanti. Mak, jika
boleh anakmu yang penuh dosa ini berharap. Maafkan aku ya mak, aku tidak mengikuti kata-katamu. Maafkan aku mak, maafkan aku…
Jika
boleh, aku ingin kembali mencium keningmu mak.
Memelukmu mak, menyucurkan air mataku
di pundakmu. Oh emak, sampaikanlah
salamku kepada Allah.
Ya
Allah, jangan pisahkan dan cerai-beraikan kami di akhirat nanti ya Allah. Aku
ingin tetap utuh bersama emak dan
keluargaku di Surgamu nanti. Amin.
Ya
Allah, aku tahu penyesalan memang selalu di akhir. Tetapi akupun juga tahu,
tidak ada pertaubatan yang terlambat sebelum ajal sampai di leher. Oleh karena
itu ya Allah, maafkan aku. Maafkan emakku,
dan maafkan seluruh umat muslim. Golongkan kami sebagai umat Nabi Muhammad yang
mendapat syafaat, dan jadikan kami bertetangga di Surgamu kelak.
***
Emak,
hadirlah pada mimpiku malam ini, beri nasihat anakmu. Dan bangungkan aku untuk kembali
bersujud pada Allah. Jiwaku meronta tanpa Allah.
Yogyakarta, 24 Desember
2014.
(Peluk hangat, Anakmu
yang Nakal)
0 komentar:
Posting Komentar