Aku tak tahu bagaimana caranya mengobati rasa
rinduku yang semakin kuat dalam batin. Ingin rasanya kutebang saja
ranting-rantingnya hingga berguguran dedaunan. Tapi aku tahu jika itu akan
sia-sia, karena rinduku padamu kasih. Sudah terlanjur mengakar.
Menghindar bukanlah hal sulit, akan tetapi
berpura-pura biasa saja saat di depanmu itu luar biasa sulitnya. Otak ini sudah
penuh rasanya, bibir ini menggigil karena tak mau berkata bohong padamu.
Tapi kasih, aku tahu ini bukan saatnya aku
meluapkan rasa rinduku padamu. Karena alam masih asyik mengintip kita. Bukankah
kita sama-sama malu jika burung-burung yang hinggap di dahan setiap harinya
mengetahui jika aku merindukanmu.
Aku juga tak mau tanah yang selalu mengirim
kawanannya melewati batangku berhenti mengalir lagi lantaran mereka cemburu
melihat kemesrahan kita. Oh kasih, aku tak tahu bagaimana aku mengatakannya. Semenjak
kamu pergi aku selalu berharap ada sepucuk surat yang dibawa burung camar
darimu untukku disini.
Tetapi harapku salah, sempai sekarang burung
camar itu tak kunjung datang. Aku takut dia salah alamat mengirimkan suratmu ke
dahan yang lain. Atau mungkin engkau yang mengalamatkannya demikian. Ah, aku
tak mau menyalahkan burung camar itu kasih, termasuk dirimu jua.
Yang ingin kukatakan adalah, cepatlah pulang
kasih. Karena bunga kita sudah berjatuhan satu per satu, aku khawatir musim
semi datang lebih awal, hingga engkau tak sempat menyicipi buahnya.
Ketika engkau membaca surat ini mungkin engkau
bingung, tapi taka pa kasih. Biarkan kebingunganmu itu yang membawamu menuju
hutan-hutan yang lebat, karena aku ada disini.
Pandanaran, 14-02-14
0 komentar:
Posting Komentar